Lika-liku Ayah Wiwit, Tukang Ojek Korban PHK Sekolahkan Anak hingga S3 dan Jadi Doktor Termuda

Lika-liku ayah Wiwit, tukang ojek korban PHK sekolahkan anak hingga S3 jadi doktor termuda di umur 25 tahun.

Penulis: Sarah Elnyora | Editor: Dyan Rekohadi
Youtube Tribun Cirebon
Wagiman dan motor bututnya (pojok kanan), Wiwit Nur Hidayah (kiri). Lika-liku ayah Wiwit, tukang ojek korban PHK sekolahkan anak hingga S3 jadi doktor termuda 

SURYAMALANG.COM, - Perjuangan ayah Wiwit tukang ojek sekolahkan anak sampai S3 dijalani dengan penuh lika-liku. 

Satu hal yang menarik dari sosok ayah Wiwit adalah ketekunan, kerja keras, kesabaran dan keikhlasannya dalam bekerja. 

Bukan hal mudah untuk anak seorang tukang ojek jadi doktor di umur 25 tahun dan sudah menyandang 4 gelar sekaligus. 

Kisah Wiwit Nur Hidayah dan keluarga jadi bukti bila pendidikan tinggi bisa diraih oleh siapapun terlepas dari status sosial. 

Meski begitu tidak menutup mata, Wiwit Nur Hidayah dan keluarga harus berjuang lebih keras. 

Ayah Wiwit Nur Hidayah bernama Wagiman (51) dulunya adalah seorang karyawan pabrik di Bandung.

Krisis moneter tahun 1999 yang melanda Indonesia membuat Wagiman harus kehilangan pekerjaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Wagiman kemudian memutuskan pulang ke kampung halaman istrinya di Kampung Neglasari, Desa Mekarsari, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Baca juga: Kondisi Rumah Kurnia Meiga Ambruk Cuma Tersisa Satu Kamar, Fakta Pilu di Balik Jual Medali AFF

Artikel TribunJabar.id  'Kisah Kepahlawanan Tukang Ojek di Garut' dan Kompas.com 'Gelar Doktor Kimia Termuda'.

Berbekal uang pesangon dari perusahaan, Wagiman memutuskan membeli sepeda motor dan banting setir jadi tukang ojek di kampung.

Pekerjaan Wagiman sebagai tukang gojek membuatnya kerap disapa dengan panggilan "Mas Ojek".
 
"Pertama saya beli GL, karena kondisi di sini pegunungan akhirnya saya jual. Saya ganti dengan beli motor Supra X tahun 2000, milik teman. Dulu harganya Rp 5 juta," ujar Wagiman kepada Tribunjabar.id di kediamannya, Jumat (11/8/2023).

Siapa sangka, setelah 24 tahun berlalu, Honda Supra X miliknya itu menjadi saksi perjuangannya dalam menyekolahkan anak sulungnya.

Wiwit Nur Hidayah, anak pertamanya, baru saja mendapat gelar doktor termuda di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung

"Motor ini alhamdulillah kalau ada orderan ke Tasik, ke mana-mana, siang malam siap berangkat. Pajak masih jalan, surat juga lengkap," ucapnya.

Hingga kini sepeda motor bebek miliknya itu masih terawat dengan baik meski di beberapa bagian terlihat lusuh ditelan usia.

Seperti di bagian jok terlihat sudah mulai sobek dan bagian badan motor sudah mengelupas.

"Di musim mudik juga saya dan istri bersama Wiwit yang saat itu masih kecil pernah pulang ke kampung saya di Kebumen," ucapnya.

Wagiman menjelaskan, pekerjaan menjadi tukang ojek bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan sekolah anak pada tahun 1999.

Namun, pekerjaan yang diandalkannya itu mulai terasa sepi di tahun 2012.

Transportasi roda dua sudah mulai banyak dimiliki oleh masyarakat.

Wagiman pun akhirnya berpindah pangkalan, semula di kampung halamannya kemudian berpindah ke Pasar Andir Bayongbong hingga kini.

"Kalau sekarang memang terasa begitu beratnya. Tapi ya harus saya tekuni. Karena itu satu pekerjaan dan saya yakin bukan profesi terhina," ucapnya.

"Saya juga sekarang punya tanggung jawab, adiknya Wiwit ini masih kuliah. Alhamdulillah dari jerih payah saya yang begini masih bisa membiayai anak-anak," lanjut Wagiman.

Saat Tribunjabar.id datang, Wiwit Nur Hidayah tidak sedang berada di rumah.

Wiwit sudah kembali ke Bandung untuk menyelesaikan urusannya setelah menyelesaikan pendidikannya.

"Teh Wiwit kemarin berangkat lagi ke Bandung, dipanggil dosennya, mungkin mengurus yang belum selesai," ungkap Wagiman.

Dilansir dari laman resmi Unpad, Wiwit bertekad untuk menjadi seorang ilmuwan dan menyandang empat gelar akademik di usianya yang masih 25 tahun.

Empat gelar tersebut yakni, sarjana farmasi (S.Farm), apoteker (Apt.), magister sains (M.Si.,) dan gelar terakhir yaitu doktor (Dr.)

"Jujur enggak nyangka bisa sampai ke S3, dan bahkan enggak ada bayangan mau jadi doktor," ujar Wiwit.

Sejak kecil, menurut Wagiman, Wiwit memang disekolahkan di sekolah-sekolah favorit tingkat kecamatan hingga kabupaten.

Padahal, Wagiman mengakui biaya masuk sekolah favorit tidak sedikit.

“Dulu waktu masuk TK (taman kanak-kanak) di sini, orang-orang bilang anak tukang ojek saja pakai sekolah TK segala,” katanya. 

Tidak lama di sekolah TK, Giman pun menyekolahkan anaknya ke sekolah dasar (SD) yang kebetulan ada di belakang rumahnya.

Meski masuk SD di usia 5 tahun, Wiwit selalu meraih gelar juara di kelasnya hingga lulus.

Itu sebabnya saat akan masuk SMP, sesuai saran guru, Wiwit disekolahkan di SMPN 1 Bayongbong meski tidak jauh dari rumahnya ada sekolah negeri juga. 

Tantangan besar mulai dirasakan Giman dan istri saat Wiwit lulus SMP.

Wiwit yang kala itu jadi salah satu lulusan terbaik di SMPN 1 Bayongbong, disarankan melanjutkan ke SMAN 1 Garut, salah satu SMA favorit di Garut.

“Banyak guru SMP-nya yang bantu. Tapi kalau bantuan sifatnya pribadi saya tolak, kalau bantuan dari pemerintah saya terima,” katanya. 

Giman dan istri sudah sepakat akan mengantarkan kemauan anaknya bersekolah sesuai yang diinginkan, namun, sepakat tidak menerima bantuan yang bersifat pribadi. 

“Kita enggak mau ada utang budi ke orang lain,” kata Tatat, ibu Wiwit

Pasangan suami istri ini menyadari betul menyekolahkan anaknya ke sekolah favorit dengan standar Internasional butuh biaya besar.

Tak ingin mematahkan semangat anak menimba ilmu, mereka pun tetap mengizinkan putrinya sekolah di SMAN 1 Garut dan berhasil lulus memuaskan. 

“Masuk ke Unpad juga lewat jalur prestasi. Hasil tes juga diterima di kampus-kampus lain, tapi akhirnya pilih di Unpad,” katanya. 

Selama menjalani kuliah S-1 di Universitas Padjadjaran, Wiwit mengambil Jurusan Farmasi.

Giman mengaku, saat itu anaknya memang menerima beasiswa dan biaya hidup.

Kendati begitu biaya hidup sebesar Rp 600.000 per bulan tidak cukup untuk kebutuhan anaknya yang harus tinggal di kos-kosan daerah Jatinangor.

“Kalau berangkat, dibekelin berapa, terima aja, tidak pernah minta lebih,” kata Tatat menambahkan.

Dengan segala perjuangan, Giman dan istrinya, Tatat berhasil mengantarkan anaknya meraih jenjang S-1.

Kendari begitu perjuangan Giman dan istri mengantar anaknya menimba ilmu belum selesai.

Setelah selesai mengambil jenjang S-1 Farmasi, Wiwit melanjutkan kuliah profesi hingga jadi apoteker. 

Selesai meraih gelar apoteker, Wiwit rupanya belum puas dan melanjutkan ke jenjang S-2 dengan berbekal beasiswa. 

Beasiswa itu didapatkan Wiwit dari prestasinya selama menempuh jenjang S-1 dan profesi.

Bedanya, menurut Giman, nominal beasiswa yang didapat anaknya lebih besar sehingga bebannya sedikit berkurang. 

Tak puas dengan meraih gelar S-2, Wiwit mempersiapkan diri untuk melanjutkan sekolah ke jenjang S-3.

Lagi-lagi lewat jalur beasiswa yang nilainya juga lebih besar hingga Wiwit bisa melakukan penelitian ke Jepang.

“Beasiswanya besar, bisa sampai dua kali ke Jepang, tinggal di sana beberapa bulan, semuanya dibiayai beasiswa,” kata Giman.

Selama anaknya menempuh pendidikan, Giman dan Tatat hanya bisa mendampingi dan berdoa. 

Sebab, mendukung dengan biaya, tentu berat bagi Giman dan Tatat.

Apalagi, anak bungsunya, adik Wiwit bernama Dwi Sekar Pertiwi, juga sudah mulai kuliah di Universitas Padjadjaran. 

Rasa bangga jelas terpancar dari wajah Giman dan Tatat saat Wiwit ternyata berhasil menyelesaikan jenjang S-3. 

Gelar yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan oleh Giman yang seharil-hari cuma jadi tukang ojek

“Saya mah enggak mau apa-apa dari anak-anak, melihat dia (Wiwit) bisa seperti sekarang saja sudah senang banget,” kata Tatat sang ibu berseri-seri.

Update berita terbaru di Google News SURYAMALANG.com 

Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved