Berita Malang Hari Ini

Guru Besar FH UB Prof Ali Safaat Sebut Ada 4 Kejanggalan Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres

Prof Dr Muchamad Ali Safa’at SH MH, menilai ada empat kejanggalan di putusan MK yang menguji konstitusionalitas Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

Penulis: Sylvianita Widyawati | Editor: rahadian bagus priambodo
suryamalang.com/sylvi
Prof Dr Muchamad Ali Safa’at SH MH, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) menilai ada empat kejanggalan di putusan MK yang menguji konstitusionalitas Pasal 169 huruf q UU Pemilu. 

SURYAMALANG.COM, MALANG- Prof Dr Muchamad Ali Safa’at SH MH, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) menilai ada empat kejanggalan di putusan MK yang menguji konstitusionalitas Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Ia menilai bahwa perkara yang telah diputus MK merupakan putusan yang sifatnya final dan terakhir. Sehingga tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh. 


Menurutnya ada empat kejanggalan putusan MK yang menilai konstitusionalitas batas usia capres/cawapres, khususnya dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. "Pertama, putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 telah menambahkan norma yang semestinya tidak sesuai dengan konsep awal putusan MK. Yaitu menguji norma yang sudah ada untuk dinilai konstitusional atau inkonstitusional," kata Ali, Jumat (20/10/2023) dalam rilis humas FH UB. 


Sedangkan dalam putusan MK ini mengabulkan permohonan perkara untuk menambahkan norma baru yang sebelumnya tidak ada. “Sebetulnya secara akademik itu (Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023) tidak sesuai dengan konsep awal dari keberadaan Mahkamah Konstitusi yang fungsinya itu menguji norma yang sudah ada. Sedangkan permintaannya adalah menambah norma," jawabnya.


Dikatakan, kalau menguji norma yang sudah ada, maka alternatifnya itu menguji (apakah) norma itu konstitusional atau tidak. "Artinya kalau yang diuji adalah persyaratan usia 40 tahun, maka usia 40 tahun itu yang harus diputuskan apakah sesuai dengan konstitusi atau tidak sesuai konstitusi,” ujar Ali. Sebetulnya, lanjut dia, dalam putusan MK ini, usia 40 tahun itu konstitusional. Tetapi ternyata kemudian ditambahkan syarat baru. Sehingga yang diuji bukan 40 tahun itu. 


"Kenapa 40 tahun itu konstitusional karena itu juga sudah ditegaskan dalam putusan MK yang diputus hari Senin itu juga,” tambahnya. Kejanggalan kedua, putusan MK tidak bisa terlepas dari suasana politis karena putusan ini sedang memasuki tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden. Menariknya dalam putusan MK juga disebutkan secara jelas ada pihak yang akan diuntungkan atas putusan MK tersebut, yakni Gibran Rakabuming yang merupakan anak Presiden Jokowi sekaligus keponakan Ketua MK, Anwar Usman.


“Maka putusan tidak dapat dilepaskan dari konteks politik. Karena putusan ini sudah berkaitan dengan batas waktu pendaftaran calon presiden dan wakil presiden. Sehingga analisisnya pasti siapa yang diuntungkan dari putusan ini," jelas Ali. Apalagi posisi Ketua MK mempunyai hubungan kekeluargaan dengan presiden. Hal ini akan memunculkan persoalan, karena hakim tidak boleh berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani.

 

Kejanggalan ketiga, putusan diputus tidak dengan suara bulat karena ada dissenting opinion dan concurring opinion antar majelis hakim. Ada beberapa hakim yang menyatakan meskinya dikabulkan, ditolak, bahkan harusnya tidak diterima.
“Bervariasinya pendapat majelis hakim, kalau kita membacanya tidak dari perspektif hukum lantas ada pertanyaan pendapat mana yang harus diikuti? Sedangkan kalau dari perspektif hukum maka pendapat hakim mayoritas itulah yang harus diikuti,” terang pria berkacamata ini.


Keempat, pertimbangan beberapa hakim yang dituangkan dalam dissenting opinion dan concurring opinion yang tidak lazim terjadi dalam sejumlah putusan MK. Misalnya dissenting opinion yang disampaikan Prof Arief Hidayat dan Prof Saldi Isra berkenaan dengan proses pembentukan putusan, proses persidangan, proses berjalannya perkara, hingga ketika perkara yang sempat dicampur.


“Menariknya adalah beberapa bisa disebut sebagai keanehan atau kejanggalan yang itu digabung sendiri oleh hakim konstitusi lewat dissenting opinion," jawabnya. Pada Arief Hidayat, menujukkan beberapa hal yang tidak biasa sebenarnya dalam proses pembentukan keputusan, persidangan dan proses berjalannya perkara. Mulai dari perkara yang sempat dicampur, perkaranya sendiri yang dilakukan tanpa mendengarkan keterangan dari pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU.

Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved