Berita Pasuruan Hari Ini

Kisah Wiwin Guru Islam Mengajar di Sekolah Kristen, Dicap Menjual Agama dan Menolak Pernikahan Dini

Kisah Wiwin Guru Islam yang Mengajar di Sekolah Kristen, Menolak Pernikahan Dini, Dicap Jual Agama

Penulis: Galih Lintartika | Editor: Eko Darmoko
SURYAMALANG.COM/Galih Lintartika
Wiwin Dwi Jayanti, guru beragama Islam mengajar di SMA Kristen Bhaitani Tutur, Pasuruan. 

SURYAMALANG.COM, PASURUAN - Kisah Wiwin Dwi Jayanti, guru beragama Islam di Pasuruan, yang mengajar di sekolah kristen, ternyata memiliki jalan yang berliku.

Wiwin Dwi Jayanti kini mengajar di SMA Kristen Bhaitani Tutur, Kabupaten Pasuruan. Ia baru saja mendapat medali emas dalam ajang Sains Merdeka Indonesia 2023.

Sebelum mencapai titik ini, Wiwin, sapaan akrab perempuan berjilbab ini, ternyata pernah mengalami masa-masa sulit.

Masa sulit itu diawali saat orang tuanya tidak mampu membiayai sekolahnya setelah tamat Sekolah Dasar (SD).

Padahal, hasrat Wiwin untuk mengenyam sekolah setinggi-tingginya saat itu sudah memuncak. Ia ingin melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Sayangnya, orang tuanya tidak sanggup membayar sekolahnya.

"Dulu, waktu di SD, saya selalu dapat ranking 1. Itu mulai kelas 1 sampai kelas 6. Saat itu, saya hanya bisa pasrah dan kecewa karena tidak dikasih kesempatan sekolah lebih tinggi karena tidak ada biaya," kata Wiwin Dwi Jayanti kepada SURYAMALANG.COM.

Wiwin Dwi Jayanti, guru beragama Islam mengajar di SMA Kristen Bhaitani Tutur, Pasuruan.
Wiwin Dwi Jayanti, guru beragama Islam mengajar di SMA Kristen Bhaitani Tutur, Pasuruan. (SURYAMALANG.COM/Galih Lintartika)

Semuanya berubah saat ia mendapat kesempatan mengenyam pendidikan di SMP Kristen Bhaitani Tutur.

Ia mendapat kesempatan sekolah dan tidak perlu memikirkan biayanya karena ditanggung penuh yayasan.

"Ya jujur langsung senang, karena saya bisa sekolah di bangku SMP seperti teman-teman saya."

"Orang tua juga sudah mengizinkan kalau saya sekolah di sini, karena tidak perlu memikirkan biaya, sudah gratis," ungkapnya.

Namun, cibiran itu mulai datang, seperti dari tetangga dan orang-orang yang di sekitarnya.

Bahkan, yang membuatnya paling marah saat itu, ada cibiran yang cukup menyakitkan dan sulit untuk dilupakan.

"Kebetulan lingkungan saya itu kan muslim sekali. Saya sempat dicibir semacam rela menjual agama hanya untuk bisa sekolah."

"Itu dalam banget sih, karena saya sekolah yang ada dalam naungan yayasan kristen," jelasnya.

Apalagi, saat itu, seragam di sekolahnya masih pendek. Itu seolah-olah membuat mereka semakin yakin bahwa cibiran itu benar. Bahkan, ada cibiran bahwa saya tidak akan lulus sekolah dan putus di tengah jalan.

Namun, ia tetap percaya diri dan tidak memasukkan cibiran itu dalam-dalam. Dia tetap fokus sekolah sekalipun banyak cibiran miring yang menerpanya. Ia tetap berusaha menjadi siswa yang baik dan berprestasi.

Di sisi lain, Wiwin ternyata memiliki tekat yang kuat untuk sekolah. Ia rela berjalan kaki kurang lebih 5 Km dari sekolah ke tempat penurunan angkutan dan masuk ke dalam rumahnya dari jalan raya.

Jarak sekolah dan rumahnya memang cukup jauh. Ia perlu jalan kaki untuk keluar ke jalan raya besar yang dilewati angkutan umum. Setelah itu, dia harus naik angkutan umum dan turun di Tutur.

Setelah dari tempat pemberhentian angkutan, ia harus berjalan kaki menuju sekolahnya.

Dan itu dilakukannya setiap hari sampai lulus SMP dan lanjut ke SMA. Dia tidak pernah diantar karena memang tidak ada kendaraannya.

Hambatan untuk melanjutkan sekolah lebih tinggi juga kembali datang. Saat duduk di bangku kelas 3 SMA, ia dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang pria yang sudah berumur dan mapan.

"Kalau ukuran orang mapan di desa itu sudah bekerja dan mendapatkan penghasilan setiap bulannya."

"Saya tidak boleh melanjutkan sekolah sampai lulus, tapi disuruh nikah saja," ungkap dia.

Saat itu, batinnya memberontak. Ia tidak ingin menikah dini seperti gadis yang ada di lingkungannya.

Ia tetap ingin sekolah sampai setinggi-tingginya. Ia menyadari, memang di lingkungannya jarang ada yang sekolah tinggi.

"Saat itu saya dibantu Bu Elok dan Pak Dedy, guru saya di sekolah."

"Saya dibantu menjelaskan ke kedua orang tua saya. Intinya, ya meminta saya diberikan izin untuk menuntaskan sekolah dan lulus SMA," ujarnya.

Hingga akhirnya, kedua orang tuanya pun bisa memahami penjelasan gurunya di sekolah.

Wiwin batal nikah. Namun, setelah lulus SMA, Wiwin diminta untuk segera mencari kerja dan tidak dianjurkan melanjutkan kuliah.

Tekat Wiwin sudah bulat. Secara diam-diam, tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, ia dibantu dua gurunya mendaftar kuliah di UM dengan jalur bidik misi. Di sisi lain, ia juga melamar sebuah pekerjaan.

Kebetulan, pengumuman diterima jalur bidik misi lebih dulu sehingga ia memilih untuk kuliah dengan jurusan kimia.

Orang tuanya kembali mengkhawatirkan biaya pendidikan Wiwin selama kuliah.

Wiwin kembali berhasil meyakinkan orang tuanya bahwa semua biaya pendidikan dan hidup ditanggung negara.

Ia akhirnya diberi restu untuk kuliah. Kepada SURYAMALANG.COM, ia mengaku sering memanfaatkan waktu untuk kerja.

"Utamanya saat libur semester. Biasanya saya cari kerja part time."

"Lumayan buat tambah-tambah uang jajan. Tapi kalau waktu kuliah, saya fokus kuliah saja. Saya kerja saat libur kuliah saja," ungkapnya.

Wiwin berhasil menyelesaikan kuliahnya S1 tepat waktu. Setelah itu, ia kembali mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S2. Saat ini, Wiwin sedang menyelesaikan sekolah doktoral atau S3.

Sebelumnya, perempuan yang menjadi guru tidak tetap SMA Kristen Bhaitani Tutur berhasil menorehkan prestasi di tingkat nasional.

Ia baru saja meraih medali emas dalam ajang Sains Merdeka Indonesia 2023.

Ia berhasil menjadi juara pertama kejuaraan antar guru se-Indonesia dalam kompetisi yang digelar oleh National Science and Social Competition (NSSC) Divua Cahaya Prestasi beberapa waktu lalu.

 

Sumber: Surya Malang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved