Hikmah Ramadhan
The Power of Puasa Menurut Prof Dr H Abd Halim Soebahar MA Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur
Hikmah Ramadhan dari Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur, Prof Dr H Abd Halim Soebahar MA
Penulis: Joko Hari Nugroho | Editor: Dyan Rekohadi
Dengan redaksi demikian seolah ingin mengundang semua orang yang dihatinya ada iman, baik yang sudah kuat atau yang masih lemah, yang teguh atau rapuh, yang tebal atau tipis, dengan seruan yang sangat mesra: “Ya ayyuhal ladina amanu…”
Kedua, jika terhadap objek yang diseru/diperintah Allah menggunakan kata kerja aktif, isi perintah itu sendiri dinyatakan dengan kata kerja pasif, yaitu kutiba alaikum as-shiyam… (dituliskan, ditetapkan, dan diwajibkan atas kamu berpuasa).
Kenapa dalam perintah puasa Allah tidak menggunakan amar yang lugas dan tegas seperti perintah shalat (aqimish shalata lidzikri), zakat (khudz min amwalihim shadaqatan tuthahhiruhum), dan haji (wa atimmul hajja wal umrata lillah)?
Jika ditelaah ayat-ayat al-qur’an, kata “kutiba” yang digandengkan dengan kata “‘alaikum” biasanya digunakan untuk perkara yang mengandung unsur masyaqqah (kesulitan) yang membuat manusia enggan menjalankannya.
Misalnya ayat kutiba ‘alaikumul qital wahuwa kurhun lakum (diwajibkan atas kamu berperang padahal engkau tidak menyukainya) atau ayat kutiba ‘alaikumul qishashu fil qatla (diwajibkan bagimu qishash dalam perkara pembunuhan), ini semua mengandung kesulitan dan keberatan sehingga bentuk perintahnya bersifat pasif (kutiba) dan persuasif ketimbang perintah hirarkhis vertikal.
Allah memupuk moral dan mental orang beriman, bahwa didalam kesulitan terdapat kebaikan, sehingga tanpa perintah yang tegaspun, kelak manusia akan memetik buah kebaikan dari perbuatan itu.
Misalnya, puasa penting untuk kesehatan manusia (shumu tashihhu), puasa penting untuk kebaikan manusia (waantashumu khairul lakum…).
Ketiga, Allah SWT menjelaskan bahwa kewajiban puasa pernah diwajibkan kepada umat-umat terdahulu (kama kutiba ‘alal ladzina min qablikum).
Ini berarti bahwa puasa bukan hanya khusus untuk generasi mereka yang diajak dialog pada masa turunnya ayat ini, tahun ke-2 hijrah, tetapi juga terhadap umat-umat terdahulu, walaupun kaifiyahnya berbeda-beda.
Pakar perbandingan agama menyebutkan bahwa orang Mesir kuno (sebelum mereka mengenal agama samawi) telah mengenal puasa.
Dari mereka praktik puasa beralih kepada orang-orang Yahudi dan Romawi. Puasa juga dikenal dalam agama-agama penyembah bintang, agama Budha, Yahudi dan Kristen. Ibn an-Nadim dalam Al-Fahrasat, menyebutkan bahwa agama para penyembah bintang berpuasa 30 hari setahun, ada pula puasa sunnah 16 hari dan ada yang 27 hari.
Puasa mereka sebagai penghormatan kepada bulan, dan juga kepada matahari.
Dalam ajaran Budha juga dikenal puasa, sejak terbit sampai terbenamnya matahari. Mereka melakukan puasa 4 hari dalam sebulan, mereka menamainya “uposatha”, pada hari-hari ke-1, ke-9, ke-15, dan ke-20.
Orang Yahudi mengenal puasa selama 40 hari, bahkan dikenal beberapa macam puasa yang dianjurkan bagi penganut-penganut agamanya, untuk mengenang para nabi atau peristiwa-peristiwa penting.
Agama Kristen juga demikian, walaupun dalam kitab Perjanjian Baru tidak ada isyarat tentang kewajiban puasa, dalam praktek dikenal beragam puasa yang ditetapkan oleh pemuka agama.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.