Berita malang hari ini

Kampung Tematik Tak Lagi Cantik, Warga Pun Merasa Tak Pantas Tarik Karcis ke Wisatawan

Sejak diresmikan oleh Wali Kota Malang M Anton pada 2018, Kampung Biru Arema tidak pernah dicat kembali. Saat diresmikan dulu, revitalisasi Kampung Bi

Penulis: Benni Indo | Editor: Yuli A
sylvianita widyawati/suryamalang.com
Kampung Biru Arema Malang, Selasa (25/5/2021). 

Aryanto menilai, dampak ekonomi tidak begitu terasa. Semua terasa sama saja. Meski di awal cukup tinggi, namun tidak ada perubahan signifikan terhadap kondisi sosial masyarakat.

“Biasa saja, semua berjalan seperti biasa. Penduduk ada yang berdagang, ada juga yang jadi karyawan. Dulu toko-toko kelontong ramai kalau ada wisatawan, sekarang sudah berbeda,” ujarnya.

Mengubah Perilaku

Ketua RW 12, Kelurahan Kesatrian, Adnan mengatakan bahwa titik untuk berfoto di Kampung Tridi juga banyak yang tidak terawat. Cat yang mewarnai lokasi berfoto itu telah pudar, perlu peremajaan.

“Kalau masyarakat tuntutannya pengecatan. Kemarin saya sudah sampaikan ke Pj Wali Kota Malang, Wahyu Hidayat. Saya bertemu di Kelurahan Purwantoro. Sudah koordinasi, insya Allah ke depannya untuk mengusahakan. Dari dinas pun sudah ada konfirmasi pengecatan untuk kampung-kampung tematik, mungkin sedang diusahakan,” katanya.

Peremajaan warna dibutuhkan untuk bisa menarik daya kunjungan wisatawan, baik lokal maupun internasional. Dikatakan Adnan, pengelola Kampung Tridi masih memberlakukan tarif terhadap pengunjung yang datang, meski sekarang kondisinya tidak seramai dulu.

Tarif yang berlaku bernilai Rp 5.000. Tarif ini berlaku untuk turis lokal dan internasional. Meski sudah ada penerapan tarif, namun menurut Adnan dampak ekonomi dari pengembangan wisata Kampung Tridi sudah tidak seperti dulu lagi.

“Kalau ekonomi dulu dan sekarang sama. Ketika ada wisata, ada reaksi besar ekonomi karena banyak warga berjualan. Mati lagi setelah kena pandemi, habislah semua. Sekarang habis pandemi penataan baru,” ujarnya.

Belakangan, banyak turis internasional yang datang. Warga yang berjualan tidak memahami keinginan kuliner turis internasional. Tidak banyak makanan yang dapat dibeli oleh turin internasional.

“Kecuali minuman, itu sudah lumrah seperti air putih,” paparnya.

Oleh karena tidak bisa diandalkan untuk bertahan hidup secara ekonomi, banyak warga di Kampung Tridi memiliki usaha lain. Beberapa di antara mereka bahkan berjualan ke luar kampung. 

Jika tidak melakukan hal itu, kondisi mereka akan semakin sulit. Sejauh ini, tidak ada akses permodalan ataupun bantuan wirausaha dari pemerintah yang dapat diandalkan.

“Perubahan ekonomi sempat terjadi dulu, kini sudah berbeda lagi. Kembali seperti dulu. Ini kan bukan lagi pekerjaan yang harus ditekuni terus menerus. Kalau tidak ada pekerjaan sampingan, tidak mungkin,” terangnya.

Dahulu, ketika masih ramai, satu orang penjaga tiket bisa mendapatkan Rp 500 ribu per hari. Kini, jumlahnya yang didapat tidak sampai sebanyak itu. Rata-rata, pengunjung yang datang ke Kampung Tridi dalam hari biasa mencapai 80 orang. Jika ada liburan, jumlahnya bisa lebih dari 100 orang.

Adnan juga menjelaskan, dampak lain dari kehadiran tempat wisata adalah perubahan karakter masyarakat sekitar. Kini, masyarakat Kampung Tridi dapat menyesuaikan diri dengan orang-orang baru yang datang ke kampung mereka.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved