Berita malang hari ini

Kampung Tematik Tak Lagi Cantik, Warga Pun Merasa Tak Pantas Tarik Karcis ke Wisatawan

Sejak diresmikan oleh Wali Kota Malang M Anton pada 2018, Kampung Biru Arema tidak pernah dicat kembali. Saat diresmikan dulu, revitalisasi Kampung Bi

Penulis: Benni Indo | Editor: Yuli A
sylvianita widyawati/suryamalang.com
Kampung Biru Arema Malang, Selasa (25/5/2021). 

Sejak diresmikan oleh Wali Kota Malang M Anton pada 2018, Kampung Biru Arema tidak pernah dicat kembali. Saat diresmikan dulu, revitalisasi Kampung Biru Arema memanfaatkan 15 ton cat.

SURYAMALANG.COM, MALANG – Kampung Biru Arema menjadi tujuan wisata di Kota Malang. Kehadiran kampung tematik ini telah memicu pertumbuhan ekonomi masyarakatnya ketika awal-awal diresmikan pada 2018.

Kampung Biru Arema memiliki potensi wisata yang besar. Selain mural yang menarik, kampung ini juga memiliki suasana yang asri dan ramah. Pengunjung dapat menikmati berbagai kuliner dan berbelanja oleh-oleh di kampung ini.

Kampung Biru Arema memiliki ciri khas perumahan penduduk yang semuanya dicat warna dominan biru. Di tembok-tembok rumah terdapat berbagai macam mural. Logo-logo klub Arema FC banyak menghiasi Kampung Biru Arema.

Itu hal yang wajar karena penduduknya merupakan pendukung klub Arema FC. Kampung Biru Arema yang berada di Kelurahan Kiduldalem pernah menjadi tujuan wisata populer sebelum pandemi, terutama ketika masih ramai orang berkunjung ke Kawasan Kampung Warna-warni di Jodipan.

Kini, kondisinya telah berubah. Pasca melewati masa sulit pandemi, kondisi Kampung Biru Arema tidak seramai dulu lagi. Tidak ada lagi tiket masuk ke Kampung Biru Arema. Hal ini terjadi karena warga telah menyadari bahwa kunjungan wisata ke Kampung Biru Arema telah menurun.

Dahulu, pengunjung yang datang dikenai tiket dan tarif Rp 3.000. Ketua RT 02, Aryanto mengungkapkan pasca pandemi jumlah kunjungan menurun drastis. Tempat-tempat foto juga mulai tidak terawat.

Wisatawan mulai berkurang, sejak saat itulah nampaknya tidak pantas membebani tarif kepada wisatawan yang hendak masuk. Kampung Biru Arema tidak memiliki daya tawar yang menarik bagi wisatawan.

“Tempat foto sudah tidak terawat, catnya memudar. Seperti tidak pantas kalau menarik tarif kepada wisatawan,” kata Aryanto saat ditemui di depan rumahnya.

Sejak diresmikan oleh Wali Kota Malang M Anton pada 2018, Kampung Biru Arema tidak pernah dicat kembali. Saat diresmikan dulu, revitalisasi Kampung Biru Arema memanfaatkan 15 ton cat.

Dana yang digunakan untuk mengubah wajah kampung itu mencapai Rp1,5 miliar. Ada 500 lebih bangunan yang dicat. Bangunan berada di Kawasan wilayah RW 04 dan RW 05.

“Sebenarnya banyak perubahan, banyak wisatawan yang masuk, tapi kondisinya seperti ini sekarang, tidak seperti dulu lagi. Sekarang spot foto banyak berkurang karena gambarnya banyak yang pudar. Itu yang jadi alasan wisatawan enggan ke sini. Kebanyakan ke kampung sebelah,” paparnya.

Pernah ada bantuan pengecatan, namun hanya pada bagian depan sebelum masuk Kampung Biru Arema.

Aryanto berharap ada pengecatan kembali sehingga warna yang pudar kembali cerah. Aryanto juga menagih janji yang pernah ia dengar dari M Anton untuk bisa dilakukan pengecatan sebanyak dua kali.

"Dulu kan Abah Anton yang punya ide pengecatan dan muralnya. Kan dulu Abah Anton punya janji, dua kali pengecatan. Ini baru satu kali pengecatan. Kami menagih janji yang dulu disampaikan Abah Anton," ujar Aryanto. 

Aryanto menilai, dampak ekonomi tidak begitu terasa. Semua terasa sama saja. Meski di awal cukup tinggi, namun tidak ada perubahan signifikan terhadap kondisi sosial masyarakat.

“Biasa saja, semua berjalan seperti biasa. Penduduk ada yang berdagang, ada juga yang jadi karyawan. Dulu toko-toko kelontong ramai kalau ada wisatawan, sekarang sudah berbeda,” ujarnya.

Mengubah Perilaku

Ketua RW 12, Kelurahan Kesatrian, Adnan mengatakan bahwa titik untuk berfoto di Kampung Tridi juga banyak yang tidak terawat. Cat yang mewarnai lokasi berfoto itu telah pudar, perlu peremajaan.

“Kalau masyarakat tuntutannya pengecatan. Kemarin saya sudah sampaikan ke Pj Wali Kota Malang, Wahyu Hidayat. Saya bertemu di Kelurahan Purwantoro. Sudah koordinasi, insya Allah ke depannya untuk mengusahakan. Dari dinas pun sudah ada konfirmasi pengecatan untuk kampung-kampung tematik, mungkin sedang diusahakan,” katanya.

Peremajaan warna dibutuhkan untuk bisa menarik daya kunjungan wisatawan, baik lokal maupun internasional. Dikatakan Adnan, pengelola Kampung Tridi masih memberlakukan tarif terhadap pengunjung yang datang, meski sekarang kondisinya tidak seramai dulu.

Tarif yang berlaku bernilai Rp 5.000. Tarif ini berlaku untuk turis lokal dan internasional. Meski sudah ada penerapan tarif, namun menurut Adnan dampak ekonomi dari pengembangan wisata Kampung Tridi sudah tidak seperti dulu lagi.

“Kalau ekonomi dulu dan sekarang sama. Ketika ada wisata, ada reaksi besar ekonomi karena banyak warga berjualan. Mati lagi setelah kena pandemi, habislah semua. Sekarang habis pandemi penataan baru,” ujarnya.

Belakangan, banyak turis internasional yang datang. Warga yang berjualan tidak memahami keinginan kuliner turis internasional. Tidak banyak makanan yang dapat dibeli oleh turin internasional.

“Kecuali minuman, itu sudah lumrah seperti air putih,” paparnya.

Oleh karena tidak bisa diandalkan untuk bertahan hidup secara ekonomi, banyak warga di Kampung Tridi memiliki usaha lain. Beberapa di antara mereka bahkan berjualan ke luar kampung. 

Jika tidak melakukan hal itu, kondisi mereka akan semakin sulit. Sejauh ini, tidak ada akses permodalan ataupun bantuan wirausaha dari pemerintah yang dapat diandalkan.

“Perubahan ekonomi sempat terjadi dulu, kini sudah berbeda lagi. Kembali seperti dulu. Ini kan bukan lagi pekerjaan yang harus ditekuni terus menerus. Kalau tidak ada pekerjaan sampingan, tidak mungkin,” terangnya.

Dahulu, ketika masih ramai, satu orang penjaga tiket bisa mendapatkan Rp 500 ribu per hari. Kini, jumlahnya yang didapat tidak sampai sebanyak itu. Rata-rata, pengunjung yang datang ke Kampung Tridi dalam hari biasa mencapai 80 orang. Jika ada liburan, jumlahnya bisa lebih dari 100 orang.

Adnan juga menjelaskan, dampak lain dari kehadiran tempat wisata adalah perubahan karakter masyarakat sekitar. Kini, masyarakat Kampung Tridi dapat menyesuaikan diri dengan orang-orang baru yang datang ke kampung mereka.

Mereka juga menyesuaikan diri karena kampungnya telah menjadi tempat wisata. Jangan sampai wisatawan yang datang membawa kesan tidak baik karena perilaku warganya.

“Dengan adanya wisata, alhamdulillah ada perubahan. Baik dari karakter atau perilaku masyarakat sekarang ini. Kalau menurut saya, hampir 70 persen berubah,” ungkap Adnan.

Masyarakat juga belajar dari turis, utamanya turis internasional. Para turis internasional selalu memperhatikan kebersihan lingkungan. Mereka juga tidak buang sampah sembarangan.

Perilaku itu ditiru oleh masyarakat Kampung Tridi. Mereka menyadari pentingnya menjaga kebersihan di tempat wisata agar pengunjung nyaman.

“Masyarakat juga antusias berkomunikasi dengan para turis, apalagi kalau turisnya bisa berbahasa Indonesia. Masyarakat ingin tahu seperti apa perbedaan antara dirinya dengan tempat tinggal turis di luar negeri,” kata Adnan.  

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved