Jam Kerja Dokter Aulia di RS Ternyata Hampir 24 Jam Setiap Hari sampai Drop, Ibu Laporkan Senior

Jam kerja dokter Aulia di RS ternyata hampir 24 jam setiap hari sampai drop, kini sang ibu mantap laporkan senior ke polisi.

|
KOMPAS.COM/Muchamad Dafi Yusuf/TribunJateng.com
Dokter Aulia (kiri) di RS ternyata hampir 24 jam setiap hari sampai drop, kini sang ibu (kanan) mantap laporkan senior ke polisi. 

SURYAMALANG.COM, - Temuan baru tentang jam kerja dokter Aulia di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi (RSUP Kariadi) belakangan diungkap sang ibu. 

Ibu dokter Aulia melalui pengacaranya menjelaskan seperti apa keluhan almarhumah yang bekerja hampir 24 jam setiap hari sampai drop.

Bahkan ibu dokter Aulia mantap melaporkan oknum senior diduga melakukan bully terhadap putrinya yang kini tewas disinyalir bunuh diri. 

Sebelum ditemukan tewas di kamar kosnya pada Senin (12/8/2024), menurut ibunya, dokter Aulia sering mengeluhkan jam kerja yang tidak masuk akal. 

Di RSUP Kariadi, dokter Aulia diketahui menjalani praktik sebagai mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anastesi dari Universitas Diponegoro, Semarang.

Misyal Ahmad, kuasa hukum keluarga Dokter ARL mengatakan, korban dipaksa bekerja mulai pukul 03.00 WIB hingga pukul 01.30 WIB saat praktik di RSUP Kariadi.

"Itu setiap hari hingga drop," jelas Misyal ditemui di Mapolda Jateng, Rabu (4/9/2024) malam melansir Kompas.com (grup suryamalang).

Misyal menjelaskan, dokter Aulia sudah mengeluh ke ibunya soal jam kerja yang tidak manusiawi tersebut sejak tahun 2022.

Baca juga: Pengakuan Mahasiswa PPDS UNDIP Ada Iuran Mirip Dokter Aulia Sampai Rp 10 Juta, Bukan untuk Senior

Keluhan tersebut juga sudah disampaikan orang tua dokter Aulia kepada pihak kampus.

"Setiap mengeluh ibunya melaporkan beberapa kali (ke Undip). Mulai tahun 2022," terang Misyal.

Bahkan keluarga juga sudah melaporkan jam kerja yang dikeluhkan korban itu kepada Kepala Program Studi di Fakultas Kedokteran Undip.

"Namun tidak mendapat tanggapan yang baik. Hingga terjadi hal yang tidak diinginkan," ungkap Misyal.

Kini ibunda dokter Aulia mantap melaporkan oknum senior yang diduga melakukan bully terhadap putrinya. 

Menurut Misyal, saat ini pihak keluarga belum bisa membocorkan siapa saja nama-nama yang dilaporkan ke polisi.

"Pelaporannya terkait pengancaman, intimidasi, pemerasan dan lain-lain," jelas Misyal. 

Misyal hanya menyebut yang dilaporkan ke polisi merupakan mahasiswa senior. 

"Pelakunya mahasiswa ada beberapa orang. Perlakuan seniornya," kata Misyal.

Meski demikian, Misyal akan menunggu hasil pengembangan dari Polda Jateng jika ada pelaku-pelaku baru.

"Nanti hasil pengembangan seperti apa serahkan ke polisi," imbuh Misyal.

Laporan tersebut juga dibenarkan oleh Kabidhumas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto.

"Beliau mengadukan permalasahan anaknya almarhumah kepada pihak kepolisian," jelas Artanto.

Pengaduan tersebut akan dilakukan analisa dan akan didiskusikan oleh penyidik dari kepolisian untuk dilakukan pendalaman.

"Akan dilakukan analisa. Perkembangan akan diinformasikan lebih lanjut," ucap Artanto.

Ditanya soal substansi laporan, Artanto mengaku belum mengetahui secara pasti karena proses laporan ke SPKT Polda Jateng masih berjalan.

"Masih proses laporan ke SPKT," imbuh Artanto.

Baca juga: Kronologi Dokter Aulia Depresi Dipalak Senior Rp 40 Juta Per Bulan, Disuruh Buat Tesis dan Cuci Baju

Seperti diketahui, hasil investigasi Kemenkes soal dugaan perundungan dan pemalakan kepada dokter Aulia sudah diserahkan kepada Polda Jateng.

Selanjutnya, Polda Jateng akan melakukan pendalaman untuk mendapatkan pembuktian dari hasil investasi tersebut.

Keluarga dokter Aulia juga sudah menyerahkan sejumlah bukti terkait dugaan perundungan. 

Berdasarkan investigasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama Itjen Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), ada temuan almarhum dipaksa sejumlah oknum senior untuk mengeluarkan uang di luar kewajaran. 

Juru Bicara Kemenkes, Mohammad Syahril mengungkap, total permintaan uang tersebut berkisar antara Rp 20 juta sampai Rp 40 juta per bulan.

Hal tersebut kemudian dibantah oleh pihak Universitas Diponegoro.

Guru besar Fakultas Kedokteran Undip Prof Zainal Muttaqin mengatakan, uang Rp 30 juta yang disetor adalah akumulasi iuran bagi mahasiswa PPDS semester 1.

Zainal mengatakan, iuran tersebut berlaku untuk Aulia dan teman-teman seangkatannya.

Dalam hal ini, dokter Aulia juga ditunjuk sebagai penanggungjawab iuran angkatan.

"Si R kebetulan dia pengelola, penanggung jawab angkatan, dia mengumpulkan uang sebesar Rp30 juta per bulan dari teman-temannya, bukan untuk seniornya tapi untuk makan mereka sendiri,” ujar Zainal, seusai aksi solidaritas FK Undip, Senin (2/9/2024) melansir Kompas.com.

Baca juga: Sebelum Dokter Aulia Tewas, UNDIP Sudah Dilaporkan Dugaan Bully Senior ke Junior, Dinner dan Cek In

Zainal mengatakan, iuran puluhan juta itu menjadi kewajiban mahasiswa semester awal, namun iuran itu dibayar per-bulan Rp3 juta.

Hasil uang yang terkumpul digunakan untuk uang makan bersama para tenaga kerja yang bertugas di bidang anestesi selama menjalani residen di RSUP Kariadi.

Kemudian, di semester berikutnya, mereka tidak diwajibkan membayar iuran karena ada mahasiswa baru sebab, penerimaan PPDS dibuka setiap semester, bukan setahun.

"Penerimaan PPDS itu setiap semester, bukan setiap tahun. Jadi, mereka yang semester 1 iuran ada 10 sampai 12 orang. Tiap bulan Rp 3 juta untuk biaya makan 84 orang, itu hanya dilakukan selama 1 semester atau 6 bulan. Satu angkatan, bukan per orang," ungkap Zainal.

Menurut Zainal, uang itu digunakan untuk membeli makanan karena dokter residen memiliki jadwal padat.

Zainal mengatakan, tidak semuanya nakes anestesi dapat beristirahat di waktu yang sama.

"Uang itu mereka kelola sendiri kok, bukan dikelola seniornya, atau departemennya, dan itu kesepakatan tiap bagian akan berbeda karena siklus kerja tiap departemen tidak sama" terang Zainal.

"Nanti, kalau mereka tahun kedua itu tidak lagi, giliran yang tahun pertama, mereka mendapatkan uang yang mereka tabung itu," lanjut Zainal.

Zainal pun menyayangkan pernyataan Kemenkes yang menyebut iuran itu sebagai pemalakan.

Perundungan Dilakukan Oknum

Zainal tidak menyangkal adanya perundungan di sana tapi menurutnya, itu merupakan perilaku individu bukan institusi.

"Jadi, menteri ini ngerusak tata kelola yang sudah ada. Bullying itu bukan enggak ada, bullying itu ada, tapi bullying itu perilaku salah, sampai mungkin jadi pidana seseorang individu, bukan perilaku institusi" ujar Zainal. 

"Kalau individu ya yang dihukum individu, bukan intitusi" imbuh Zainal.

"Masa ada polisi korupsi seluruh institusi dihentikan, Ketua KPK korupsi KPK jalan, Ketua MK melanggar etik tetap jalan. Ada akpol mati itu yang dihukum oknum, bukan Akpolnya yang ditutup," tegas Zainal.

Zainal pun berharap, Kemenkes mencabut penghentian sementara PPDS Anestesi Undip.

Penutupan PPDS Anestesi Undip dapat mengganggu pemenuhan kebutuhan dokter spesialis di Indonesia.

"Penutupan PPDS ini tidak menyelesaikan masalah tapi menimbulkan masalah baru. Pendidikan terhambat, padahal kita butuh banyak dokter spesialis," ujar Zainal.

 

 

 

Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved