Aksi Tolak UU TNI Malang

Kisah Demonstran di Malang Dipukuli, di-BAP saat Terluka, Tim Medis Wanita Dimaki dengan Kata Kotor

Kisah Demonstran di Malang Dipukuli, di-BAP saat Terluka, Wanita Tim Medis Dimaki dengan Kata Kotor

Penulis: Benni Indo | Editor: Eko Darmoko
SURYAMALANG.COM/Kukuh Kurniawan
TOLAK UU TNI - Suasana di sekitaran DPRD Kota Malang saat aksi demo menolak UU TNI, Minggu (23/3/2025) malam. 

SURYAMALANG.COM, MALANG - Demonstran yang jadi korban kekerasan aparat saat aksi tolak UU TNI di Kota Malang angkat suara perihal kisah pilu yang dialaminya.

Ichan, salah satu korban bercerita, bahwa ia harus mendapatkan jahitan di bagian kepala setelah dipukuli oleh aparat.

"Saya ditangkap bersama enam orang lainnya. Saya dipukul oleh aparat gabungan yang membuat saya mengalami cedera di tubuh."

"Yang paling parah itu di bagian kepala sebelah kanan, mengalami bocor dan harus dijahit," ujar Ichan saat gelar konferensi pers secara daring, Jumat (28/3/2025).

Saat persitiwa kekerasan terjadi, Ichan mengatakan kondisi sedang gelap. Lampu di taman Alun-alun Tugu tidak menyala.

Ia ditangkap oleh aparat saat berada di halaman Hotel Tugu. Ichan saat itu juga bekerja mendokumentasikan jalannya aksi tolak UU TNI.

"Saya ditangkap di Hotel Tugu Malang. Saya dipukuli di situ. Bahkan kemudian oleh orang yang berpakaian preman dan berseragam, termasuk anggota TNI," katanya.

Setelah dihajar oleh aparat, Ichan dibawa ke pos jaga. Dengan kondisnya yang luka parah, ia harusnya mendapatkan perawatan medis.

Namun bukan perawatan medis yang ia peroleh, Ichan justru diborgol dan segera dibawa ke Polresta Malang Kota. Hingga akan proses BAP, Ichan tidak mendapatkan penanganan medis.

"Saya lalu didampingi oleh LBH Pos Malang. Pendamping meminta agar saya mendapatkan perawatan medis terlebih dahulu karena tidak manusawi saya diperiksa dalam kondisi sakit," ujarnya.

Ichan menjalani pemeriksaan hingga akhirnya dibebaskan pada pukul 2.22 dini hari.

Kisah pilu lainnya dialami oleh Zakiya, seorang paramedis yang mengalami kekerasan oleh parat.

Tidak hanya kekerasan, Zakiya juga mengatakan kalau dirinya bersama teman-teman perempuan paramedis lainnya mendengar kata-kata yang tidak pantas dari mulut aparat gabungan TNI/Polri.

Dikisahkan sejak awal, ponsel milik Zakiya dan beberapa temannya disadap. Akun WhatsApp milik sejumlah paramedis tiba-tiba masuk ke dalam grup tidak dikenal. Merasa terganggu, sejumlah paramedis mematikan ponselnya.

"Kami masih bisa melakukan aktivitas meskipun intel di situ wara-wiri. Pada pukul 18.25, itu kami pertama kali situasi pecah. Yang awalnya kami masuk barisan masa aksi, kemudian mundur masuk ke pos medis," katanya.

Tak lama kemudian, datang sejumlah aparat kepolisian bawa trail dan pentungan. Ada juga tentara yang masuk ke dalam posko paramedis.

Dikatakan Zakiya, ada dua orang masa aksi yang sesak nafas di posko. Dua orang itu harus segera ditangani dan tidak memungkinkan orang berkerumun di situ.

"Saya sempat teriak di situ tapi polisi dan tentara tetap masuk. Pertama kali saya dengar, aparat mengatakan: 'kon kabeh ndek kene asu'. Saya sudah menerangkan kepada mereka bahwa ini posko medis. Saya sudah meminta mereka tidak masuk posko medis," ujarnya.

Namun seruan itu tidak diindahkan petugas. Bukannya keluar dari posko, petugas justru memukul kepala Zakiya. Saat itu, Zakiya sedang menggunakan helm. Selain dipukul, Zakiya juga didorong dan diinjak tangannya.

"Kami mendapatkan intimidasi berupa perkataan: 'lonte kabeh. Ndek kene iki lonte kabeh'. Kami dipaksa untuk pergi," katanya.

Diteruskan Zakiya, aparat juga sempat menuduh sejumlah barang yang berisi jas hujan sebagai bom. Zakiya tidak habis pikir tuduhan itu dikatakan kepada tim paramedis.

"Kan ada donasi jas hujan, itu sama aparat dituduh kalau jas hujan itu isinya bom. Dan yang ketika kami berusaha evakuasi teman-teman, ada tentara berseragam mengikuti kami. Tentara itu bilang: Kon lek kenek tentara, wes ringkes dari tadi," ulasnya.

Zakiya dan sejumlah temannya mengaku mengalami dampak psikis pasca aksi tersebut.

Ketua Sepaham Indonesia, Muktiono mengatakan tindakan represif polisi tidak mencerminkan cita-cita Polri pasca reformasi.

Dijelaskan Muktiono, ketika Polri dipisah dari TNI, merek memiliki tugas untuk mengayomi. Namun dalam peristiwa yang terjadi di Kota Malang akhir pekan lalu, tindakan mengayomi maupun melindungi itu tidak terjadi sama sekali.

Muktiono mengatakan tindakan itu telah merendahkan warga negara yang selama ini merupakan pembayar pajak untuk menggaji polisi. Muktiono mengecam tindakan represif tersebut dan berharap Polri bisa mengevaluasi diri.

"Polri merendahkan warga negara yang memiliki kuasa terhadap negara demokrasi. Polisi saat lepas dari fungsinya di dalam ABRI, sebetulnya memiliki tugas mengayomi, tapi ini sebaliknya," katanya menyesalkan. 

Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved