Menimbang Kebijakan Fiskal dan Asumsi Ekonomi Makro 2026

Sri Mulyani Indrawati, selaku Menteri Keuangan, mewakili pemerintah menyampaikan pokok pokok kebijakan fiskal

Editor: Eko Darmoko
SURYAMALANG.COM/Yusron Naufal Putra
Said Abdullah 

Oleh Said Abdullah (Ketua Banggar DPR)

SURYAMALANG.COM - Hari ini, bertepatan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, Saudari Sri Mulyani Indrawati, selaku Menteri Keuangan, mewakili pemerintah menyampaikan pokok pokok kebijakan fiskal dan asumsi ekonomi makro sebagai landasan penyusunan RAPBN 2026 di sidang paripurna DPR RI. 

Pemerintah menyampaikan kepada DPR atas target ekonomi makro dan postur awal APBN 2026, antara lain; pertumbuhan ekonomi 5,2-5,8 persen, inflasi1,5-3,5 persen, nilai tukar 16.500-16.900, suku bunga SBN 6,6-7,2, ICP 60-80/USD, lifting minyak bumi 600-605 ribu barel/hari, lifting gas bumi  953-1017 setara ribu barel/hari.

Adapun perkiraan postur APBN 2026, pendapatan negara 11,7-12,2 persen PDB, belanja negara 14,19- 14,75 persen PDB, defisit APBN 2,48-2,53 persen PDB.

Sedangkan target kesejahteraan, tingkat kemiskinan di kisaran 6,5-7,5 persen, tingkat pengangguran 4,44 -4,96 persen, gini rasio 0,377 – 0,380, dan Indeks Modal Manusia 0,57.

Menimbang desain pokok pokok kebijakan fiskal, asumsi ekonomi makro dan postur RAPBN 2026 diatas, sebagai Ketua Banggar DPR, ada beberapa hal yang hendaknya menjadi perhatian penting pemerintah:

1.Kebijakan perang tarif telah mengguncang tata perdagangan global. Dan memperhadapkan perdagangan global dalam situasi yang proteksionis, yang sesungguhnya berlawanan dengan prisip dan komitmen dari kerjasama perdagangan regional dan global yang mutualistik. Pemerintah perlu menggalang organisasi internasional untuk mengoreksi praktik pengenaan tarif sepihak yang dibalas dengan retaliasi. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengajak dunia perlu membangun komitmen baru dalam perdagangan, dan memastikan dimasa depan tidak ada negara yang berlaku sewenang wenang secara sepihak, dan semua patuh pada hukum hukum perdagangan internasional.

2. Pada tahun 2025 ini, pemerintah menghadapi tantangan untuk mengantisipasi shortfall pajak sebagai akibat rendahnya harga komoditas ekspor, menurunnya sejumlah pabrikan karena berbagai faktor tekanan ekonomi dan persaingan usaha, serta turunnya tingkat konsumsi rumah tangga. Dan situasi seperti tampaknya berlanjut di tahun mendatang. Pendapatan negara menjadi pilar penting untuk memastikan penganggaran berbagai program strategis, termasuk untuk pemenuhan kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang yang jatuh tempo di tahun depan yang sangat besar.

Oleh sebab itu pemerintah perlu memikirkan target pendapatan negara yang realistis-optimistis. Untuk itu diperlukan kebijakan ekstensifikasi perpajakan, setidaknya dari sisi cukai, tarif minerba, dan sektor digital.

Adapun pemberlakuan core tax system sebagai strategi untuk membangun administrasi perpajakan yang handal di tahun depan harus mempertimbangkan kesiapan literasi wajib pajak, dan memastikan kesiapan dan keamanan sistem.

3. Program ketahanan pangan dan energi sesungguhnya telah di canangkan sejak lama Namun akselerasinya kurang begitu cepat, sehingga kita masih harus melakukan impor sejumlah bahan pangan pokok rakyat dan energi, yang nilainya sangat besar. Alih alih menyudahi impor pangan, sektor pertanian kita malah terdisrupsi dari sisi lahan dan tenaga kerja., serta adaptasi teknologi yang terlambat.

Salah satu agenda penting yang kurang maksimal dari program ketahanan adalah program redistribusi lahan. Pemerintah perlu melanjutkan program redistribusi lahan 4,5 juta hektar untuk petani dan perkebunan rakyat, menyiapkan tenaga kerja terampil pedesaan untuk pengelolaan redistribusi lahan, dan dukungan teknologi terapan pada sektor pertanian yang termutakhir untuk mendorong efisiensi produksi.

4. Nasib yang sama juga terjadi pada program ketahanan energi. Program pembangunan lima kilang minyak bumi perlu di lanjutkan, termasuk kilang petrokimia di Tuban yang tersendat, sebagai strategi untuk menambah kapasitas pengolahan minyak nasional agar tidak bergantung pada impor.

Di lain pihak kontribusi program Energi Baru dan Tebarukan (EBT) perlu lebih besar lagi porsinya dalam produksi dan konsumsi energi nasional, serta memperbaiki mismatch energi nasional dari sisi produksi, konsumsi, dan kemampuan energi nasional kita.

5. Kita juga mengalami pelemahan pada sektor industri. Padahal sektor inilah yang menampung tenaga kerja formal, dari kelompok kelas menengah. Kurang akseleratifnya sektor industri dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi membuat kelas menengah tergerus, dan turun kelas. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Penurunan ini setara dengan 9,48 juta orang yang turun kasta dari kelas menengah.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved