Indeks Kemerdekaan Pers Jawa Timur Turun, Profesor Anang Sujoko : Kondisi Demokrasi Memburuk
Indeks Kemerdekaan Pers Jawa Timur Turun, Profesor Anang Sujoko : Kondisi Demokrasi Memburuk
Penulis: Benni Indo | Editor: Eko Darmoko
SURYAMALANG.COM, MALANG - Penurunan angka kemerdekaan pers di Jawa Timur perlu dicermati serius oleh berbagai pihak. Pasalnya, penurunan kemerdekaan pers tersebut juga bentuk memburuknya kondisi demokrasi di Jawa Timur.
Hal itu dipaparkan oleh ahli komunikasi politik dan media dari Universitas Brawijaya (UB) Malang, Profesor Anang Sujoko, Kamis (19/6/2025).
Ditemui di Fakultas Ilmu Politik dan Sosial, Universitas Brawijaya, Anang menjelaskan pemerintahan saat ini memiliki sebuah perspektif yang berbeda dalam melihat demokrasi, termasuk melihat pers itu sendiri.
"Pers seringkali kemudian dianggap sebagai pengganggu stabilitas yang ada. Nah, di sini kemudian kita coba tarik di Jawa Timur, ini kan efek cukup kuat dari kebijakan pusat," ujar Anang Sujoko kepada SURYAMALANG.COM, Kamis (19/6/2025).
Baca juga: Indeks Kemerdekaan Pers Jatim Merosot Tajam, Kemenko Polhukam Gelar Rapat Koordinasi di Kota Malang
Menurut Anang, ada beberapa faktor yang membuat angka kemerdekaan pers turun di Jawa Timur. Faktor pertama datang dari pemerintah yang menjadi tempat berkumpulnya elit kekuasaan dan politik.
Dikatakan Anang, faktor dari pemerintah sangat dominan karena elit kekuasaan dan politik mampu memproduksi regulasi.
Ia melihat, regulasi yang dibangun saat ini lebih banyak membangun relasi kekuasaan sehingga ada kecenderungan bagaimana mempertahankan status quo. Padahal, ada banyak kelemahan dari pemerintah yang perlu dikritisi oleh publik melalui pers.
"Nah, ini poinnya ada di sana. Memang pemerintahan kita itu kan ada beberapa kelemahan secara perspektif publik. Cara mereka berkomunikasi, cara menyampaikan kebijakan publik, dan keputusan publik."
"Bahkan kalau saya lihat ada skill dari masing-masing kabinet atau pemerintahan memengaruhi beberapa kebijakan hingga kemudian turun ke bawah. Nah, penerjemahan ke bawah inilah yang kemudian juga mempunyai semacam efek domino dari atas," paparnya.
Ia juga memaparkan, akses informasi ke eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak mudah. Di baliknya, ada risiko-risiko yang mengancam keamanan jurnalis, terutama ketika bersinggungan dengan pihak yudikatif seperti kepolisian. Risiko yang membuntuti itu telah mengakibatkan kerja-kerja jurnalistik tidak berjalan profesional.
"Nah, ini risikonya luar biasa. Ini yang seringkali kemudian menjadikan sebuah demokrasi kita, maaf harus saya katakan turun."
"Termasuk implikasinya kepada masalah kemerdekaan pers itu sendiri. Bayangkan ya, no viral, no justice. Ini kan sebetulnya implikasi dari keterbatasan akses terhadap kepolisian, terhadap dewan dan yang lainnya," ujarnya.
Mengejewantahkan kondisi itu, Anang mengingatkan bahwasannya ada hak-hak publik untuk mengetahui. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana kinerja lembaga negara melalui informasi yang akurat. Jurnalis memiliki peran untuk membuat informasi tersebut dan harus diberi kemudahan akses agar informasinya akurat.
Faktor selanjutnya yang membuat angka kemerdekaan pers turun adalah ekonomi media. Anang melihat pemerintah memiliki kecenderungan tidak membelanjakan iklan kepada media yang kritis. Hal itu membuat idealisme pers berkurang.
"Ini contoh, ada sebuah pemerintahan daerah, kemudian difasilitasi media. Nah, ketika media itu berpikir kritis terhadap pelaksanaan pemerintahan yang terjadi kemudian mereka merasa terganggu. Implikasinya pada belanja iklan yang tidak terjadi. Nah, sehingga dari kondisi itu, pers menghadapi dilema yang luar biasa," paparnya.
Faktor berikutnya yakni literasi masyarakat. Masyarakat saat ini cenderung hanya membaca judul berita saja. Masyarakat tidak membaca sampai habis informasi yang disajikan dalam berita. Hal ini bisa membuat masyarakat menjadi apatis sedangkan pemerintahan merasa tidak diawasi kinerjanya.
Ketika masyarakat menjadi apatis terhadap informasi kebijakan publik, maka kontrol sosial menjadi lemah, bahkan Anang mengatakan bisa jadi tidak ada kontrol sosial terhadap lembaga negara. Pelanggar kebijakan akan merasa nyaman melakukan pelanggaran-pelanggaran karena tidak ada yang mengontrol.
"Nah, dari posisi itulah, sekali lagi, pers kita itu luar biasa menghadapi tantangan saat ini. Oleh karena itu, ya ada banyak hal yang harus kita selesaikan bersama, di antara pemerintahan, LSM, pers itu sendiri, lembaga pendidikan, dan juga publik itu," tegasnya.
Untuk memperbaiki indeks kemerdekaan pers di Jawa Timur membaik, Anang mendorong peran aktif lembaga pendidikan. Menurutnya, lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi perlu meningkatkan kolaborasi dan mendukung kerja-kerja jurnalisme yang profesional.
Lembaga pendidikan perlu menghasilkan penelitian yang memperkuat demokrasi serta kemerdekaan pers. Kolaborasi dengan jurnalis juga dibutuhkan untuk mendukung kualitas riset. Riset yang memiliki independensi diharapkan bisa menjadi rujukan untuk memperbaiki indeks kemerdekaan pers di Jawa Timur ataupun nasional.
"Kan, prinsipnya seorang akademisi tidak boleh bohong. Boleh salah, tapi tidak boleh bohong. Oleh karena itu, diharapkan dengan riset-riset yang kemudian nanti disampaikan oleh temanteman jurnalis, akan menjadi lembaga kontrol dengan model yang berbeda."
"Termasuk mahasiswa juga harus membiasakan dengan riset-riset yang ada. Nah, riset-riset dengan berbagai bidangnya itu yang harus ditekankan di lembaga pendidikan," kata Anang.
Diberitakan sebelumnya, Deputi V Bidang Koordinasi Komunikasi dan Informasi Kemenko Polkam, Eko D Indarto, menjelaskan bahwa penurunan indeks ini terjadi akibat sejumlah faktor kompleks, mulai dari disrupsi teknologi, keterbatasan akses informasi publik, hingga minimnya perlindungan terhadap jurnalis di daerah.
“Kita melihat bahwa perkembangan teknologi begitu pesat, dan ini berdampak luar biasa pada dunia pers baik positif maupun negatif. Teman-teman pers harus bisa bergerak cepat menyesuaikan diri. Namun di sisi lain, pemerintah juga harus terbuka dan responsif terhadap kebutuhan informasi yang dibutuhkan pers,” ungkap Eko, Rabu (18/6/2025).
Menurut Eko, kolaborasi lintas sektor menjadi kunci dalam memperbaiki situasi kebebasan pers di Jawa Timur. Kemenko Polhukam mendorong agar daerah membangun ekosistem pers yang sehat, termasuk meningkatkan literasi masyarakat dan kapasitas wartawan.
Indeks Kemerdekaan Pers di Provinsi Jawa Timur mengalami penurunan drastis dari peringkat 14 menjadi 33 dari 38 provinsi di Indonesia. Berdasarkan data yang diolah dari Dewan Pers, Indeks Kemerdekaan Pers di Jawa Timur tercatat 67.45 pada 2024.
Pada 2023, nilainya 76.55. Penjabaran lebih detail, di sektor lingkungan fisik politik pada 2024 mencapai 68.80, turun dari tahun 2023 yang mencapai 77.38. Di sektor lingkungan ekonomi juga turun menjadi 66.28 pada 2024, sedangkan 2023 mencapai 75.04. Terakhir di sektor lingkungan hukum, turun pada 2024 menjadi 65.88 yang pada tahun 2023 mencapa 76.30.
Tabrak Truk Muatan Tebu yang Parkir di Wates Kediri, Pengendara Honda Supra Tewas |
![]() |
---|
Nilai Bantuan Program Bedah Warung Rakyat di Sidoarjo Bakal Naik Dua Kali Lipat |
![]() |
---|
Dampak Kekeringan, Warga Pamekasan Madura Harus Tempuh Jarak 3 Km untuk Dapatkan Air Bersih |
![]() |
---|
Wartawan Gadungan dari Malang dan Tulungagung Peras Kades di Trenggalek, Divonis Salah dan Dipenjara |
![]() |
---|
Perjuangkan Proyek Tol Kepanjen, Bupati Sanusi Bertemu Luhut Binsar Pandjaitan di Kemenkominfra |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.