Rekomendasi Wisata Malang Raya
Kampung Wisata Sejarah Tawangsari, Napak Tilas Perjuangan Arek Malang Pertahankan Kemerdekaan RI
Kampung Wisata Sejarah Tawangsari, Napak Tilas Perjuangan Arek Malang Pertahankan Kemerdekaan RI
Penulis: Benni Indo | Editor: Eko Darmoko
SURYAMALANG.COM, MALANG - Gang sempit di Jalan Sumbersari Gang 3, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, menyimpan jejak sejarah yang nyaris terlupakan.
Di sanalah, dalam sebuah rumah tua yang tampak biasa di permukaan, tersimpan kisah perjuangan heroik para pejuang Republik Indonesia saat Agresi Militer Belanda II pada 1947-1949.
Rumah itu dahulu merupakan markas komando gerilya yang menjadi otak serangan umum ke Kota Malang.
Kini, kisah itu dihidupkan kembali lewat Museum Reenactor Malang, sebuah ruang kecil yang berjuang melawan pelupaan.
Adalah Muhammad Fariz Zunaidi (50), warga Kampung Tawangsari, Kelurahan Sumbersari, yang menjadi garda depan pelestariannya.
Ia tak hanya mengelola museum, tapi juga merawat ingatan kolektif tentang perjuangan yang terjadi di kampungnya.
Bisa jadi, kampung ini satu-satunya di Indonesia yang menawarkan pengalaman wisata sejarah perjuangan.
"Awalnya ini bagian dari lomba kampung tematik yang digagas Pemkot Malang pada 2017."
"Setiap kampung diminta menonjolkan potensinya masing-masing, dan kami memilih sejarah sebagai tema," kenangnya kepada SURYAMALANG.COM, Senin (30/6/2025).
Fariz dan warga lain mengangkat kisah rumah markas komando gerilya itu, serta situs-situs lain di sekitarnya, seperti jembatan tempat Jenderal Soemitro memimpin serangan umum dan rumah-rumah yang dulu ditinggali pasukan.
Berbekal semangat kolektif dan bantuan awal dari pemerintah kota, lahirlah Museum Reenactor Malang sebagai pusat wisata edukasi sejarah.
Museum ini bukan sekadar ruang pamer benda tua. Ia menjadi simpul napak tilas peristiwa sejarah.
Tur edukatif yang ditawarkan membawa pengunjung menyusuri jejak-jejak perlawanan: dari museum ke rumah bekas markas, lalu ke jembatan strategis tempat komando pertempuran dimulai.
Koleksinya sederhana namun sarat makna. Di dalam museum, terdapat koper tua milik anak buah Soemitro, helm baja peninggalan tentara Jepang dan KNIL, bayonet yang ditemukan di langit-langit rumah warga, hingga sepeda tua yang dulu digunakan TNI untuk mengirim pesan.
Barang-barang itu adalah saksi bisu perjuangan, sebagian besar didapat dari warga sekitar.
"Masih ada empat rumah yang menyimpan perlengkapan asli. Sayangnya belum dibuka untuk umum karena rendahnya antusias masyarakat," ujar Fariz.
Meskipun memiliki narasi kuat dan daya tarik historis, pengelolaan museum tak luput dari tantangan. Dukungan dari pemerintah kota terhenti sejak pandemi.
Hal itu membuat semangat warga perlahan surut. Impian menjadikan setiap gang sebagai museum tematik pun meredup. Tantangan lain datang dari masyarakat yang belum cukup antusias.
“Dulu sempat ingin bikin museum pencak silat di gang 4, museum Fatayat di gang 3, dan budaya jaran kepang di gang 1. Tapi karena hasilnya tak tampak, semua vakum,” ujar Fariz lirih.
Kondisi fisik lokasi pun minim perbaikan. Area parkir dan jalan paving adalah hasil Musrenbang. Museum bertahan berkat dedikasi komunitas Reenactor, yang sebagian besar memiliki garis keturunan pejuang. Biaya operasional didapat dari sisa kegiatan. Jika tidak ada kegiatan, ada swadaya sendiri dari warga.
“Sayang kalau cerita ini hilang. Ini bukan soal romantisme masa lalu, tapi warisan nilai keberanian dan pengorbanan,” tegas Fariz.
Pengunjung Sepi, Semangat Tetap Menyala
Dalam sebulan, kunjungan hanya datang dari mahasiswa yang sedang menyusun karya tulis. Saat libur perkuliahan, jumlah pengunjung bisa dihitung jari.
Namun, museum ini pernah menarik perhatian wisatawan mancanegara dari Belanda, Australia, Korea Selatan, hingga Selandia Baru, yang mencari jejak keluarga mereka di masa kolonial.
“Wisman dari Belanda pernah datang bawa foto rumah sakit Supraoen saat agresi militer. Dia cari informasi soal kakek buyutnya yang bertugas di kesatuan medis,” kata Fariz.
Museum Reenactor menjadi tempat yang memberi makna baru bagi mereka yang ingin menyambung benang sejarah. Namun, di tengah keterbatasan, kehadiran wisatawan seperti itu menjadi pelecut semangat.
Fariz dan komunitas Reenactor menyadari mereka tidak bisa berjalan sendiri. Mereka telah didampingi dosen dari Universitas Negeri Malang untuk mengurus legalitas badan hukum agar bisa mengakses bantuan CSR. Namun hingga kini, bantuan belum kunjung datang.
“Harapan saya sederhana. Tempat ini bisa lebih hidup, secara fisik maupun dukungan masyarakat. Agar cerita perjuangan ini bisa menyebar lebih luas,” tuturnya.
Museum Reenactor Malang adalah bukti bahwa sejarah bukan milik masa lalu, melainkan warisan yang harus dihidupkan hari ini untuk generasi mendatang. Dan di gang kecil di Tawangsari ini, sejarah itu terus bernafas—meski pelan, namun penuh daya tahan.
Museum Reenactor Malang
Kampung Tawangsari
Kota Malang
Kecamatan Lowokwaru
Muhammad Fariz Zunaidi
SURYAMALANG.COM
Cikiluks Kota Malang Hadirkan Kuliner Rasa Internasional dengan Harga Lokal |
![]() |
---|
Suasana Asri dan Edukatif di New Wisata Wendit by Nicole's, Destinasi Pilihan Masa Libur Sekolah |
![]() |
---|
Lembah Tumpang, Pesona Alam Buatan Berbalut Kemegahan Kerajaan Majapahit di Malang |
![]() |
---|
Jelajah Wisata Kampung Sejarah Kota Malang, Kenang Perjuangan Indonesia saat Agresi Militer Belanda |
![]() |
---|
Wisata Edukasi untuk Isi Liburan Sekolah, Coba Mubeng Deso Naik Jip di Kabupaten Malang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.