Rekomendasi Wisata Malang Raya

Jelajah Wisata Kampung Sejarah Kota Malang, Kenang Perjuangan Indonesia saat Agresi Militer Belanda

Gang sempit di Jalan Sumbersari Gang 3, Kota Malang menyimpan jejak sejarah yang nyaris terlupakan.

Penulis: Benni Indo | Editor: Zainuddin
SURYAMALANG.COM/SAMUEL LEONARDO
KOLEKSI MUSEUM - Muhammad Fariz Zunaidi menunjukkan koleksi Museum Reenactor, Kota Malang, Senin (30/6). 

SURYAMALANG.COM, MALANG – Gang sempit di Jalan Sumbersari Gang 3, Kota Malang menyimpan jejak sejarah yang nyaris terlupakan.

Rumah tua yang berada di gang tersebut menjadi saksi perjuangan heroik para pejuang Indonesia saat Agresi Militer Belanda II pada 1947-1949.

Rumah itu dahulu merupakan markas komando gerilya yang menjadi otak serangan umum ke Kota Malang. Kini, kisah itu dihidupkan kembali lewat Museum Reenactor Malang.

Muhammad Fariz Zunaidi menjadi garda depan dalam pelestarian benda-benda bersejarah tersebut. Pria asal Kampung Tawangsari ini tidak hanya mengelola museum, tapi juga merawat ingatan kolektif tentang perjuangan yang terjadi di Kampoeng Sedjarah tersebut.

"Awalnya ini bagian dari lomba kampung tematik yang digagas Pemkot Malang pada 2017. Setiap kampung diminta menonjolkan potensinya masing-masing, dan kami memilih sejarah sebagai tema," kata Fariz kepada SURYAMALANG.COM, Senin (30/6).

Fariz dan warga lain mengangkat kisah rumah markas komando gerilya itu, dan situs-situs lain di sekitarnya, seperti jembatan tempat Jenderal Soemitro memimpin serangan umum dan rumah-rumah yang dulu ditinggali pasukan. Berbekal semangat kolektif dan bantuan awal dari Pemkot Malang, lahirlah Museum Reenactor Malang sebagai pusat wisata edukasi sejarah.

Museum ini bukan sekadar ruang pamer benda tua. Museum ini juga menjadi simpul napak tilas peristiwa sejarah. Tur edukatif yang ditawarkan membawa pengunjung menyusuri jejak-jejak perlawanan, mulai dari museum ke rumah bekas markas, lalu ke jembatan strategis tempat komando pertempuran dimulai.

Di dalam museum terdapat koper tua milik anak buah Soemitro, helm baja peninggalan tentara Jepang dan KNIL, bayonet yang ditemukan di langit-langit rumah warga, sampai sepeda tua yang dulu digunakan TNI untuk mengirim pesan. Barang-barang itu adalah saksi bisu perjuangan yang sebagian besar didapat dari warga sekitar.

"Masih ada empat rumah yang menyimpan perlengkapan asli. Sayangnya belum dibuka untuk umum karena rendahnya antusias masyarakat," ujar Fariz.

Pengunjung Sepi

Dalam sebulan, kunjungan hanya datang dari mahasiswa yang sedang menyusun karya tulis. Saat libur perkuliahan, hanya sedikti pengunjung yang datang ke kampung wisata sejarah tersebut.

Namun, museum ini pernah menarik perhatian wisatawan dari Belanda, Australia, Korea Selatan (KOrsel), sampai Selandia Baru. Rata-rata wisatawan mancanegara tersebut mencari jejak keluarganya di masa kolonial.

"Wisman dari Belanda pernah datang bawa foto RS Supraoen saat agresi militer. Dia cari informasi soal kakek buyutnya yang bertugas di kesatuan medis," terangnya.

Museum Reenactor menjadi tempat yang memberi makna baru bagi mereka yang ingin menyambung benang sejarah. Namun, di tengah keterbatasan, kehadiran wisatawan seperti itu menjadi pelecut semangat.

Fariz dan komunitas Reenactor telah didampingi dosen dari Universitas Negeri Malang (UM) untuk mengurus legalitas badan hukum agar bisa mengakses bantuan CSR. Namun sampai sekarang, bantuan belum kunjung datang.

"Kami hanya berharap tempat ini bisa lebih hidup agar cerita perjuangan ini bisa menyebar lebih luas," tuturnya.

Sumber: Surya Malang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved