Strategi Kampus Cari Mahasiswa Baru

Ketimpangan Antara PTN dan PTS di Malang, LLDIKTI Tekankan Kemandirian dan Inovasi

Menurut Kepala LLDIKTI Wilayah VII Jawa Timur, Prof Dr Dyah Sawitri SE MM, dominasi PTN seharusnya tidak jadi penghalang bagi PTS untuk berkembang. 

SURYAMALANG.COM/M Rifky Edgar H
LLDIKTI - Kepala LLDIKTI Wilayah VII Jawa Timur, Prof. Dr. Dyah Sawitri, SE, MM saat ditemui awak media dalam sebuah kegiatan di Universitas Ma Chung beberapa waktu yang lalu. 

SURYAMALANG.COM, MALANG - Ketimpangan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS) di Malang makin terlihat mencolok. 

Tidak hanya dari segi animo pendaftar, tetapi juga dalam hal persebaran, infrastruktur, hingga branding kampus. 

Berdasarkan data dari Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah VII Jawa Timur, ada 51 PTS di Kota Malang.

Namun hanya ada tiga PTS yang memiliki jumlah mahasiswa lebih dari 10.000 orang, yakni Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Merdeka (Unmer) dan Universitas Islam Malang (Unisma).

Sementara sisanya kurang dari itu dan bahkan ada yang jumlahnya hanya ratusan saja.

Menanggapi hal tersebut, Kepala LLDIKTI Wilayah VII Jawa Timur, Prof. Dr. Dyah Sawitri, SE, MM menilai, kalau kondisi ini sebagai tantangan serius yang harus dijawab PTS dengan strategi jangka panjang, bukan sekadar bertahan hidup.

"Budaya masyarakat kita masih menjadikan PTN sebagai pilihan utama. Itu tidak bisa dipungkiri,"

"Ada kebanggaan tersendiri jika anak diterima di kampus negeri," katanya saat dihubungi Surya pada Minggu (27/7/2025).

Namun, menurutnya, dominasi PTN seharusnya tidak menjadi penghalang bagi PTS untuk berkembang. 

Justru ini harus menjadi momentum refleksi sekaligus lompatan inovasi bagi kampus swasta. 

"Kita tidak bisa terus bergantung pada jumlah mahasiswa. Harus punya strategi lain. Salah satunya lewat penguatan unit bisnis kampus,"

"Kampus yang memiliki kemandirian finansial lewat unit bisnis akan lebih tangguh dalam kondisi apapun," tegasnya.

Ketimpangan juga terjadi dalam persebaran kampus di Kota Malang.

Sebagian besar kampus besar dan favorit terkonsentrasi di wilayah barat seperti Universitas Brawijaya (UB), UMM, UIN Maulana Malik Ibrahim, Universitas Negeri Malang (UM) hingga Unisma.

Sementara kampus di wilayah timur seperti STIBA, Politeknik Malang, dan Universitas Wisnuwardhana belum memiliki animo sebesar kampus di wilayah barat.

Menanggapi hal ini, Prof Dyah mengatakan bahwa sebaran itu erat kaitannya dengan kekuatan daya saing kampus. 

"Kampus di manapun berada, kalau punya kekuatan dan diferensiasi, pasti akan dicari,"

"Ini soal bagaimana membangun nilai tambah dan membentuk ekosistem belajar yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa,” katanya.

Ia menegaskan, distribusi geografis bukan masalah utama jika kampus mampu membangun branding yang kuat.

"Mereka harus bisa menunjukkan keunggulan yang spesifik. Misalnya prodi yang ditawarkan punya pendekatan kurikulum yang berbeda dan dibutuhkan pasar kerja," jelasnya.

LLDIKTI juga mendorong kampus swasta di Malang untuk beradaptasi dengan era digital. 

Kampus hybrid dan efisiensi digital, menurut Prof Dyah, menjadi arah transformasi pendidikan tinggi. 

Ia mencontohkan bagaimana banyak pekerjaan administratif kini bisa dilakukan cukup lewat ponsel.

"Tanda tangan dokumen sekarang bisa dari HP. Kuliah pun bisa dari mana saja. Ini artinya kampus harus siap secara teknologi dan perangkat pembelajaran. Kalau tidak siap, ya tertinggal," ungkapnya.

Mantan rektor Universitas Gajayana itu juga menjelaskan, pada akhirnya mutu menjadi fondasi utama yang harus dibangun kampus swasta. 

Menurutnya, sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, semua perguruan tinggi baik PTN maupun PTS wajib memenuhi standar mutu pendidikan tinggi.

"Akreditasi prodi dan institusi menilai komponen yang sama antara negeri dan swasta,"

"Jadi, kalau sudah unggul, ya mutunya jelas. Tidak ada bedanya," tandasnya.

 

Sumber: Surya Malang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved