“Kita bukan anak selebritis atau public figure. Ngapain malu? Justru ini bagian dari edukasi agar tidak membuang sampah plastik sembarangan. Saya lebih malu hidup miskin tak berdaya,” imbuhnya.
Keseriusannya mengeluti usaha baru tidak sia-sia. Rekan-rekannya awalnya yang memesan. Perlahan namun pasti, tidak hanya rekan-rekannya, para kolektor pun akhirnya turut memesan. Baik di dalam maupun luar negeri.
Taufiq kini telah memiliki sejumlah karyawan yang membantunya memproduksi barang oleh-oleh itu. Dalam sehari, bisa memproduksi hingga 200 an buah. Dengan begitu, rata-rata setiap minggu minimal Taufiq mendapatkan Rp 5 juta.
Bahkan beberapa waktu lalu ia mendapatkan pemesanan robot yang satu unitnya dihargai Rp 3 juta. Pria kelahiran Malang, 8 Februari 1979 itu menyebut dari usaha barunya itu, kini ia mulai bisa menambal lubang hutang.
“Tahun ini targetnya sudah selesai (melunasi hutang),” katanya optimis.
Tidak sekadar menghasilkan uang, Taufiq juga memiliki visi bagaimana mengembalikan lingkungan jauh dari bitol plastik. Untuk itu, ia pun kerap membagikan ilmunya mengkreasikan botol plastik menjadi bahan mainan atau miniatur.
Di tempatnya, bisa sampai ratusan orang datang belajar dalam setiap minggunya. Ia sangat terbuka kepada siapapun yang ingin belajar. Hal itu ia lakukan sebagai upaya mewujudkan visinya yang lain yakni sangat ingin melihat anak Indonesia kembali ke zaman keemasannya.
“Yakni ketika mereka buat mainan sendiri. Itu sangat menyenangkan karena menggerakkan semua anggota tubuh. Kalau sekarang kan kebanyakan beli. Kita sudah dijajah kalau begitu,” tandasnya.
Upaya Taufiq untuk menyadarkan masyarakat akan bahanyanya sampah plastik nampaknya tak berhenti di rumahnya saja. Ia pun berani keluar untuk mengkampanyekan bahaya sampah plastik.
Ia pernah mendatangi Lapas dan berbagi ilmu tentang pemanfaatan sampah plastik yang mudah dan menguntungkan. Bahkan dalam waktu dekat ini ia akan membuka museum Recycle Hot Bottles di B Walk.