Akar Historis Waditra Jimbe Versi 'Kendang Sentul'

Editor: yuli
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sesungguhnya, sebutan "Jimbe" di dalam bahasa Indonesia merupakan istilah serapan dari bahasa Mali (suatu negara di Afrika), yakni Djembe".

Kata "djembe" yang menunjuk kepada waditra (music instrument) jenis membraphone ini berasal dari peribahasa lokal Mali "anke dje, anke be", yang berarti: semua orang berkumpul (dje) dalam damai (be)".

Dari unsur kata 'dje + be" kemudian muncull pelafalan "djembe". Sesuai dengan arti peribahasa itu, pada mulanya djembe dijadikan sebagai perangkat musika untuk memicu kehadiran orang di suatu tempat dan untuk menghibur banyak orang dalam spirit "sosio-art" untuk menciptakan kondisi sosial yang penuh kedamaian.

Instrumen musik djembe yang telah hadir di kerajaan Mali paling tidak pada abad XII Masehi ini kemudian popoler di antero Afrika, bahkan mampu berdifusi hingga keluar benua Afrika, tak terkecuali ke Indonesia.

Nama asal dari waditra ini, yakni "Djembe", diserap ke dalam bahasa Indonesia (proses naturalisasi) menjadi "Jimbe". Oleh sebab bentuknya yang menyerupai membraphone Nusantara, yang dalam sebutan lokal Jawa dinamai "kendang", maka kata "Jimbe" dilekatkan setelah kata "kendang" menjadi "Kendang Jimbe".

Kendati muasal istilah "Jimbe" dari kata Mali "Djembe", namun bukan berati bahwa manusia Nusantara baru mengenal waditra yang demikian lantaran pengaruh budaya manca.

Perkataan "kendang jimbe", yang memiliki unsur sebutan "kendang", memberi kita petunjuk bahwa di dalam sejarah panjang Nusantara terdapat waditra membraphone yang serupa jimbe.

Oleh karenanya, jimbe dapat ditempatkan sebagai salah sebuah varian dari kendang, tepatnya "kendang berpinggang" dengan jumlah membran (selaput getar) satu sisi, yakni di sisi atas.

Anatomi jimbe terbagi dua, yakni (a) bagian atas yang berbentuk silindris agak cembung dengan membran di sisi atasnya serta tali-tali pertentangan membrab, (2)bagian bawah dalam bentuk silindris yang agak mengembang di bagian bawahnya , dengan ukuran lebih kecil dari bagian atas.

Dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan sebutan kebanyakkan untuki kendang adalah "padahi" atau "padaha", yakni suatu istilah Sanskrit untuk membraphone pada umumnya kala itu.

Salah satu varian bentuk kendang adalah "kendang berpinggang", yakni kendang yang resonatornya meminggang (cekung di ruas tengah atau lebih ke bawah pada kedua sisinya). Terdapat kata Sanskrit untuknya yang diserap kedalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan, yakni "Damaru".

Dalam ikonografi Hindu, damaru merupakan salah satu laksana (atribut) khas Dewa Bhairawa -- salah satu aspek Dewa Siwa. Damaru duibawa dengan tangan belakang (hasta fewata) sebelah kanan. Oleh karena itu damaru termasuk "waditra dewata".

Sedikit beda dengan damaru yang membrannya berada di dua sisi (bawah dan atas), pada jimbe membran hanya berada di sisi atas. Sebenarnyaa, waditra yang demikian juga terdapat dalam waditra tradisional Jawa, yang dinamai "reyog".

Waditra serupa ini namun dalam usia yang lebih tua dan dengan bentuk resonator tak berpinggang (kurus atau agak cembung) dikenal dengan sebutan "dogdog".

Istilah ini adalah onomatopae, yang dimanai demikian lantaran bunyi yang dihasilkannya adalah "dog, dog, .....". Kendang reyog dapat pula dinamai "reyog dogdog". Bentuk tertua dari genderang berpinggang adalah "Nekara" dan "Moko", yang berasal dari Masa Perundagian di akhir Zaman Prasejarah.

Halaman
1234

Berita Terkini