Akar Historis Waditra Jimbe Versi 'Kendang Sentul'

Editor: yuli
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Hanya saja, seluruh komponennya terbuat dari bahan perunggu --termasuk pula membrannya yang berupa "timpanum" lempengan perunggu.

Kembali kepada waditra yang merupakan hasil produksi andalan Kelurahan Sentul, sesungguhnya waditra ini memiliki akar sejarah lokal, yaitu sejarah lokal Blitar.

Dikatakan demikian karena waditra membraphone jenis dogdog didapati jejak arkeologisnys pada "candi negara" Penataran (nama kunonya "Palah") yang dibangun ulang pada abad XII Masehi. Dengan jelas dogdog tergambar pada relief cerita "Ramayana" di teras I candi induk, yaitu pada salah satu di antara puluhan panil relef Ramayana yang dipahat dengan alur pembacaan "prasawya (berlawanan arah dengan putar jarum jam).

Pada panil relief itu dogdog adalah alat bunyi yang dibawa oleh seorang prajurit kerajaan Langka (Alengka) ketika melakukan ronda di wilayah dalam kadarwan (Kedaton, keraton, istana). Tergambar bahwa tentara raksasa itu berada di dalam kolong gapura, sementara di atas gapura Hanuman berdiri tanpa diketahui olehnya.

Dogdog dibawa dengan menyangkutkan tangan kirinya jepada resonator yang berbentuk silindris lurus pada pinggang kirinya. Membran diitempatkan di satu sisi (sisi atas) dan dibunyikan dengan tongkat penukul (stick) yang dibawa dengan tangan kanannya.

Menilik bentuk resonator dan cara memainkannya, ada perbedaan dengan jimbe, yaitu bentuk resonator jimbe berpinggang dan ditabuh dengan menggunakan tapak tangan.

Namun, sebenarnya terdapat varian dari jimbe yang berada dalam suatu set orkestrasi yang ditabuh dengan menggunakan tongkat pemukul dan resonatornya tak berpinggang (lurus), yaitu "kenkeny" yang berukuran kecil dan "dudumba" yang berukuran lebih besar. Dengan perkataan lain, dogdog lebih mirip dengan apa yang di Afrika dinamai 'kenkeny dan dudumba".

Selain dogdog, di kompleks Candi Papah (Penataran) terdapat waditra yang memiliki resonator berpinggang, yaitu "reyong". Waditra ini dipahatkan pada Pendapa Teras II sisi depan, yakni di salah satu relief Cerita Panji.

Hanya saja, reyong tidak bermembran, melainkan dilengkapi dengan waditra berpencu (mirip "kenong") yang fitempatkan di penghujung kanan dan kiri resonatornya. Reyong berada dalam posisi horisontal dan ditabuh dengan menggunakan tonngkat pemukul.

Hal ini berbeda dengan jimbe, yang betmembran di salah satu ujung (ujung atas) resonatornya, dibunyikan dengan tepukan tapak tangan dan posisinya vertikal. Terlepas dari segi perbedaannya, tergambar bahwa waditra Nusantara telah mengenal resonator berpinggang, seperti tergambar pada waditra reyong, damaru maupun padahi berpinggang.

Yang paling serupa dengan jimbe, baik bentuk resonator maupun cara menabuhnya, adalah waditra tradisional Jawa bernama "reyog" atau "dogdog".

C. Deklarasi "Sentul, Kampung Waditra Jimbe"

Paparan di atas (bagian B ) memberi alasan untuk menyatakan bahwa manusia Jawa telah mengenal "kendang berpinggang" yang menyerupai jimbe. Relief pada candi induk dan Pendapa Teras II Penataran memberi bukti tentang itu. Demikian pula waditra tradisional di Blitar, Tulungagung dan Kediri terdapat waditra reyog (dogdog) yang sangat menyerupai jimbe.

Pada daerah-daerah lain di Indonesia juga terdapat waditra serupa itu. Misalnya, di Papua dan Maluku terdapat *Tifa*, di Belu hingga Timorleste terdapat "Ttihar".

Terdapat pula kendang serupa di lingkungan budaya Bugis, dan masih cukup banyak lagi. Singkat cerita, kendang berpinggang kedapatan endemik waditra Nusantara. Jimbe, kenkeny dan dudumba yang masuk ke Indonesia belakangan hanya menyuguhkan varian lain, yang memperkaya variasi kendang berpinggang Nusantara.

Halaman
1234

Berita Terkini