Pasal ini menegasikan praktik distribusi karya musik selama ini dilakukan oleh banyak musisi yang tidak tergabung dalam label atau distributor besar.
• Tangis Al Ghazali Buat Mulan Jameela Kuatkan Anak Tirinya, Dul Jaelani Nangis di Konser Dewa 19
• Syahrini Beberkan Konsep Pernikahan Sederhana, Tutup Manja Mulut Soal Calon Suami, Reino Barack?
• Update Video Por*o Wanita Pakai Celana SMA 1 di Kalbar, Satu Pelakunya Dikeluarkan Sekolah
• Pemindahan Vanessa Angel Ke Sel Tahanan Polda Jatim Tanpa Disorot Media, Karena Ini
3. Memaksakan kehendak dan mendiskriminasi
Ada bagian yang dianggap sebagai cerminan pemaksaan kehendak dan berpotensi mendiskriminasi musisi.
Yaitu bagian ujian kompetensi dan sertifikasi dalam RUU Permusikan.
Untuk beberapa negara, praktik uji kompetensi bagi pelaku musik memang ada, tapi tidak ada satu pun negara di dunia yang mewajibkan semua pelaku musik melakukan uji kompetensi.
"Lembaga sertifikasi yang ada biasanya sifatnya tidak memaksa pelaku musik, tetapi hanya pilihan atau opsional," jelas Mondo Gascaro.
Selain itu, pasal-pasal terkait uji kompetensi ini berpotensi mendiskriminasi musisi autodidak untuk tidak dapat melakukan pertunjukan musik jika tidak mengikuti uji kompetensi.
4. Hanya memuat informasi umum dan mengatur hal yang tidak perlu diatur
Beberapa pasal yang ada di RUU Permusikan memuat redaksional yang tidak jelas mengenai apa yang diatur dan siapa yang mengatur.
Misalnya pada Pasal 11 dan 5 yang hanya memuat informasi umum tentang cara mendistribusikan karya yang sudah diketahui dan banyak dipraktikkan oleh para pelaku musik.
Serta bagaimana masyarakat menikmati sebuah karya.
Dua pasal ini dianggap tidak memiliki bobot nilai yang lebih sebagai sebuah pasal yang tertuang dalam peraturan setingkat Undang-undang.
Hal serupa juga ada di Pasal 13 tentang kewajiban menggunakan label berbahasa Indonesia.