Mayoritas sapi yang mati beruntun berada di Dusun Toro, Desa Sidomulyo.
Menurut Kepala Dusun Toro, Agung Aris Saputra, lokasi penimbunan bangkai hewan ternak yang mati ditandai secara khusus.
Warga tidak boleh membukanya untuk selamanya, karena spora antraks bisa bertahan hingga puluhan tahun.
Produk susu dari Desa Sidomulyo juga tidak terpengaruh isu antraks.
Sebab sapi-sapi yang mati hampir semuanya jenis pedaging, bukan sapi perah.
Harga susu pun stabil di angka Rp 5.800 per liter.
"Sebelum ada antraks Rp 5.800 (per liter), sekarang juga Rp5.800. Jadi tidak terpengaruh," ungkap Agung.
Lanjut Agung, di dusun yang dipimpinnya ada sekitar 500 ekor sapi.
Semua sudah divaksin untuk mencegah penularan antraks.
Agung mengakui, kehidupan para peternak berangsur normal kembali.
"Sampai sekarang masih ada posko untuk kesehatan hewan yang sewaktu-waktu bisa diakses warga," pungkas Agung.
Sebelumnya ada 25 ekor sapi dan 3 ekor kambing yang mati beruntun di Desa Sidomulyo.
Isu pun berkembang sedang ada warga yang mempraktikkan santet.
Hingga petugas mendapati sapi yang mati terakhir dan melakukan autopsi.
Hasil uji laboratorium, sapi itu mati terindikasi karena serangan bakteri antraks.
Selain itu ada enam orang warga yang terindikasi tertular antraks dari hewan ternak.
Mereka mengalami luka dengan ciri khas antraks, dengan bagian tengah luka menghitam dan keras seperti batu bara.
Populasi sapi di Desa Sidomulyo ada sekitar 1600 ekor, didominasi jenis sapi perah.
Desa ini juga menjadi salah satu sentra penghasil susu di Tulungagung.