SURYAMALANG.COM, TULUNGAGUNG - Yani (45) warga Dusun Selogiri, Desa Penjor, Kecamatan Pagerwojo memiliki kisah perjuangan menarik dari nol hingga menjadi juragan susu.
Berawal dari menjadi buruh pemelihara sapi milik orang lain, kini Yani punya puluhan ekor sapi perah.
Usahanya sempat terpukul saat terjadi serangan penyakit mulut dan kuku (PMK).
Saat SURYAMALANG.COM berkunjung ke rumahnya, Yani sedang sibuk memerah susu belasan sapi di salah satu kendang miliknya.
Ayah 1 anak ini telah memanfaatkan mesin pemerah otomatis sehingga pekerjaan ini berjalan cepat.
Sementara anak dan istrinya juga memerah di kandang yang lain.
“Sebelum ada PMK sapi saya ada sekitar 155 ekor. Ada 25 ekor yang dititipkan ke warga, 130 ekor dipelihara sendiri,” ucap Yani.
Namun setelah PMK, jumlah sapi perah milik Yani menyusut tajam.
Ia mengaku sampai tidak hafal pasti jumlahnya, hanya memperkirakan tersisa setengah saja.
Sekarang juga tidak ada lagi sapi yang dititipkan ke warga.
Yani berkisah, karena tidak punya modal, awalnya hanya memelihara sapi milik orang, atau istilahnya nggado.
Itu pun sapi pedaging, bukan sapi perah yang sedang berkembang di wilayah Kecamatan Sendang.
Dari hasil nggado itu Yani mendapatkan bagian satu ekor sapi.
Sapi pedaging itu pun ditukarkan dengan sapi perah betina dengan menambah sejumlah uang.
Mulailah Yani mulai menjalankan usaha sapi perah.
Bermodal kegigihan dan berhemat, sapi miliknya terus berkembang.
“Hampir setiap tahun sapinya kan beranak. Jadi dari satu berubah menjadi dua, tahun berikutnya anaknya sudah siap berproduksi,” kenangnya.
Sapi perah milik Yani pun terus berkembang hingga mencapai puluhan.
Dari seorang penggado sapi, Yani berubah menjadi juragan susu.
Awalnya ia harus menjual susunya di daerah Desa Gambiran, Kecamatan Pagerwojo.
Sebelum menggunakan mesin, ia mulai memerah susu pada pukul 01.30 WIB dan selesai pada pukul 07.00 WIB.
Dia juga harus mempekerjakan 6 orang untuk menyelesaikan pemerahan.
Sejak 5 tahun lalu Yani sudah menggunakan mesin pemerah dengan sistem vakum.
Dengan mesin ini, Yani bisa memanfaatkan waktu di sela-sela memerah ini sambil membersihkan kendang.
“Satu ekor sapi membutuhkan waktu sekitar 5 menit untuk pemerahan. Tinggal colok dan siapkan tabungnya, nanti selesai sendiri,” katanya.
Kini Yani juga menerima setoran susu dari para peternak lain.
Dalam satu hari dia bisa memproduksi susu sebanyak 3.000 liter.
Jumlah ini gabungan antara susu dari sapi-sapinya dan setoran pada peternak.
Yani juga mempunyai mesin pendingin sendiri untuk menampung setoran para peternak.
Mesin ini beroperasi secara otomatis menjaga suhu susu agar tidak rusak selama penyimpanan.
Dengan mesin ini ia tak perlu risau jika harus menampung susu yang tidak bisa disetor di hari yang sama, karena kualitasnya tidak menurun.
Saat ini harga susu di dari peternak sekitar Rp 7.400 per liter. Yani juga punya armada sendiri untuk menyetorkan susunya ke pengepul yang ada di Srengat, Kabupaten Blitar.
Namun Yani dan para peternak lain menghadapi masalah produksi selepas PMK.
“Sekarang satu ekor sapi paling hanya bisa 12-15 liter. Padahal sebelum ada PMK satu ekor bisa menghasilkan 20 liter,” ungkapnya.
Sebelum PMK harga susu hanya di kisaran Rp 5.000 per liter.
Namun karena produksinya melimpah, para peternak bisa meraup untung yang lebih besar.
Sedangkan saat ini produksinya menurun, keuntungan ikut turun meski harga susu naik signifikan.
Untuk memulihkan produksi, sapi-sapi yang lolos dari PMK harus diregenerasi. Jika menunggu proses alami, maka membutuhkan waktu lama karena harus menunggu sapi lama afkir.
Sedangkan jika dilakukan regenerasi saat ini, maka membutuhkan biaya yang besar.
“Saya sudah coba sapi indukan baru yang saya pelihara sejak kecil, ternyata produksinya bisa tembus 20 liter. Sementara sapi lama yang lolos dari PMK, 15 liter itu sudah sangat bagus,” pungkasnya. (David Yohanes)