"Paspor saya dibuat di Imigrasi Pontianak. Setelah dua hari, saya dibawa ke Entikong, perbatasan Indonesia-Malaysia."
"Saya baru tahu kalau saya akan masuk sebagai pekerja ilegal saat sudah di Malaysia," ucapnya.
Sebelum melintasi perbatasan, Hasan dan rekan-rekannya diberikan instruksi agar mengaku sebagai wisatawan yang hendak mengunjungi saudara jika ditanya pihak imigrasi Malaysia.
Hasan akhirnya tiba di Kuching, Malaysia dan ditempatkan di sebuah mes sebelum dipekerjakan.
Namun, kenyataan pahit menantinya.
"Di Jakarta saya dijanjikan gaji Rp 1,5 juta per bulan. Tapi setibanya di Malaysia, perjanjian itu disobek, lalu dibuatkan kontrak baru oleh tekong di sana."
"Saya dipaksa menandatangani kontrak dengan gaji hanya Rp 250 ribu per bulan. Saya menolak, tapi saya ditodong pistol, akhirnya dengan terpaksa saya tanda tangan," jelas dia.
Setelah itu, Hasan dibawa ke kapal yang berada di tengah laut.
Di sana, ia bertemu seorang ABK asal Malang yang menyarankannya untuk segera pulang.
"Dia bilang, 'Kenapa masih muda kok larinya ke sini? Sayang lah, mendingan pulang aja.' Saya mulai berpikir ulang," katanya.
Kesempatan melarikan diri datang saat kapal tempatnya bekerja mengalami kerusakan dan harus bersandar di sebuah pulau.
"Di pulau itu, saya dan empat teman saya dari Sangir akhirnya memutuskan kabur. Kami ikut kapal lokal milik warga Malaysia," ujarnya.
Namun, pelarian Hasan tak mudah.
Paspor dan dokumen pentingnya masih dipegang oleh tekong.
"Saya harus mencuri dokumen saya sendiri. Kalau enggak, saya gak mungkin bisa keluar dari Malaysia."