Karena tidak ada koreksi, praktik ini diterima sebagai kebiasaan.
Lama-kelamaan, akhirnya menjadi pola sistemik.
Semua tahu, tetapi semua membiarkan.
Masalah menjadi lebih serius ketika pemimpin organisasi tidak hadir secara tegas.
Kepemimpinan yang terlalu permisif, terlalu menghindari konflik, atau terlalu banyak mendelegasikan tanpa pengawasan justru membuka celah.
Sifat egaliter memang positif, tetapi jika tidak diimbangi ketegasan, ruang kosong kepemimpinan akan segera diisi oleh pihak lain.
Itulah awal dari shadow governance dimana kendali organisasi berpindah ke tangan aktor-aktor informal, bukan lagi pada struktur resmi.
Ketika shadow governance menguat, moral hazard menjadi tak terhindarkan.
Banyak orang merasa aman melanggar aturan karena yakin tidak akan ada teguran.
Praktik “asal setor beres” diterima sebagai norma tak tertulis.
Perilaku menyimpang yang seharusnya insidental berubah menjadi kebiasaan.
Ujung dari rangkaian ini adalah paralysis.
Organisasi tampak berjalan, tetapi sebenarnya lumpuh.
Fungsi sertifikasi K3 yang semestinya menjamin keselamatan kerja berubah menjadi sumber kecurigaan.
Energi birokrasi habis untuk menghadapi masalah hukum, bukan memperbaiki layanan.