Geger Gafatar

Ternyata, Gafatar Pernah Gelar Pertemuan Besar di Surabaya

Budayawan Djati Kusumo mengaku turut hadir dalam pertemuan tersebut. Sebelumnya, beredar kabar bahwa dia termasuk penggagas berdirinya Gasafar.

Penulis: Aflahul Abidin | Editor: fatkhulalami
surya/sulvi sofiana
Erri dan surat yang ditinggalkan 

SURYAMALANG.COM, KLOJEN - Gerakan Fajar Nusantra (Gafatar) yang tengah menjadi perguncingan hangat beberapa hari terakhir tenryata pernah menggelar pertemuan besar di Kota Surabaya yang diikuti oleh sekitar 700-an orang.

Pertemuan yang digelar sekitar dua tahun lalu itu membahas pembentukan Gafatar Jawa Timur.

Budayawan Djati Kusumo mengaku turut hadir dalam pertemuan tersebut. Sebelumnya, beredar kabar bahwa dia termasuk penggagas berdirinya Gasafar. Akan tetapi, ketika wartawan bersambang ke Padepokan Puri Agung Djathi Kusumo, Selasa (12/1/2015), untuk mengkonfirmasi kebenaran hal itu, ia menjawab dengan enteng.

"Secara struktural, saya tidak ada kaitannya dengan Gafatar. Tapi kalau saya beberapa kali menghadiri pertemuan itu, iya benar," kata dia.

Djati menduga, informasi tersebut bisa jadi meleset.

"Mungkin yang dimaksud Hatami Kusumo. Dia yang mengundang saya untuk hadir dalam peartemuan Gafatar," tambahnya.

Ia menjelaskan, pertemuan yang diadakan di salah satu hotel tua di Surabaya tersebut berlangsung secara tertutup. Tak semua orang boleh masuk. Dari sana, dia juga tahu bahwa ada seseorang yang diagungkan dari komunitas tersebut.

"Kalau di agama Islam, dia mungkin mirip dengan Imam Mahdi. Orang yang ditunggu-tunggu kehadirannya. Kalau di budaya Jawa, mungkin mirip Ksatria Piningit," katanya.

Di luar pertemuan yang tertutup, Djati tak melihat ada yang aneh dari pertemuan itu. Melalui pembicaraan yang terjadi di forum besar tersebut, ia justru berkesimpulan bahwa misi yang dibawa oleh komunitas tersebut cukup baik. Seperti yang ia dengar dari pembicaraan di sana, ada tiga hal utama yang ingin disampaikan komunitas itu.

Pertama, kemandirian hidup di bidang ekonomi. Para anggota komunitas tersebut, kata Djati, sepakat bahwa negeri ini bisa memenuhi kebutuhan hidup tanpa perlu mengimpor dari negera lain. Kedua, komunitas itu juga mengutamakan pendidikan intelektual. Salah satu contohnya, yakni dengan himbauan agar para anggota mengikuti persekolahan di rumah.

"Yang dihadirkan juga guru-guru profesional. Saat saya tanya tentang pendidikan formal, mereka bilang itu tetap diikuti. Hanya ada penambahan pembelajaran di rumah untuk meningkatkan ilmu," katanya.

Ketiga, kerja sama dalam pergaulan. Terkait yang satu ini, Djati bahkan mengaku salut.

"Dulu sekitar 50 orang dari anggota di sana membantu saya bekerja bakti membangun padepokan ini. Yang membuat saya salut, mereka tidak mau merepotkan saya. Mereka membawa makanan sendiri dari rumah," katanya.

Selain pertemuan di Surabaya, ia pernah juga menghadiri undangan komunitas itu di Jakarta untuk berorasi kebudayaan dan di Gresik untuk mengikuti bakti sosial di bidang kesehatan. Djati mengaku, tak paham tentang isu yang menyebut bahwa aliran yang dibawa oleh Gafatar berbau radikal.

"Justru kalau saya lihat, mereka lembut sekali. Maka saya kaget mendengar kabar itu," tambah Djati.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved