Malang Raya
Fakta Persidangan Dugaan Suap di DPRD Kota Malang, Subur Triono Sebut Ada Komisi Rp 12,5 Juta
Dalam kesaksian Subur Triono, menyebutkan pada tahun 2015 ia pernah dipanggil oleh mantan Ketua DPRD Kota Malang, Arief Wicaksono guna menerima uang.
SURYAMALANG.COM, SURABAYA -Di saat DPRD Kota Malang saat ini berpacu menjalankan Pergantian Antar Waktu (PAW), persidangan kasus dugaan korupsi dan suap DPRD Kota Malang tahap dua di Surabaya berlangsung panas.
Para anggota DPRD Kota Malang yang menjadi tersangka maupun yang menjadi saksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Rabu (5/9/2018) saling adu keterangan.
Dalam sidang kemarin, anggota Dewan Subur Triono yang jadi saksi membeber aliran dana siluman di gedung dewan Kota Malang.
Tiga orang saksi dihadirkan dalam sidang kasus dugaan suap pembahasan P-APBD Pemerintah Kota Malang TA 2015, yang menyeret 18 anggota DPRD Kota Malang itu.
Para saksi yang dihadirkan yakni Ribut Harianto, anggota Fraksi Golkar periode 2014-2019, Subur Triono, anggota DPRD Kota Malang Fraksi PAN periode 2014-2019, dan Umik, istri dari mantan Ketua DPRD Kota Malang M Arief Wicaksono.
Dalam kesaksian Subur Triono, menyebutkan pada tahun 2015 ia pernah dipanggil oleh mantan Ketua DPRD Kota Malang, Arief Wicaksono guna menerima uang.
“Waktu itu saya diberi uang Rp 12,5 juta dan dikatakan Pak Arief itu sebagai ganti uang Pokir, sebelum Hari Raya Idul Fitri,” bebernya di hadapan ketua majelis hakim Cokorda dalam Sidang yang digelar di Ruang Cakra, Pengadilan Tipikor Surabaya, Rabu, (5/9/2018).
Usai menerima uang Pokir, nominal yang diberikan dengan anggota lainnya tidak sama, maka ia meminta tambahan lagi, karena dia sebelumnya menjabat sebagai Ketua Fraksi PAN.
Saat itu Arif berinisiatif memberikan tambahan dari koceknya sendiri Rp 5 juta dan diberikan pada keesokan harinya.
Sehingga total uang yang diberikan Rp 17,5 juta.
Tak lama kemudian, kasus bagi-bagi uang itu mulai terendus penyidik KPK.
Subur pun mendapat pesan untuk sepakat tidak jujur saat diperiksa.
“Intinya, harus tetap solid, dan sepaham, soalnya Pak Arief mengatakan kalau jujur semua akan masuk penjara," ungkapnya.
Dia juga mengaku bahwa mengembalikan dana Rp 17,5 juta ke KPK, dia juga menyarankan ke beberapa anggota dewan lainnya seperti Ribut, Slamet, Suprapto dan Mohan Katelu.
Saat kuasa hukum bertanya atas inisiatif siapa mengembalikan uang tersebut, ia hanya terdiam dan mengaku takut.
"Karena saya kepikiran dan ketakutan. Saya kembalikan Rp 12,5 juta sama tambahan dari Pak Arief Rp 5 juta. Total 17,5 juta, saya kembalikan yang pertama,” tandasnya.
Selain itu, Subur juga mengaku dalam DPRD Kota Malang sering terjadi aliran dana pemulus kebijakan.
“Pemberiannya pun bertahap, sekitar Rp 75-100 juta per anggota,” terangnya.
Tahapan tersebut terbagi tiga tahap, dimana awalnya pada tanggal 4 November 2014, terkait pelemparan KUA PPPAS, kedua pengesahan KUA PPPAS dan ketiga pengajuan APBD 2015.
“Sedangjan tiap tahapnya lupa intinya menerima total Rp 125 juta," katanya.
Tak hanya itu, dalam persidangan Subur yang sudah menjadi anggota dewan tiga periode ini mengakui ada aliran dana agar lancar.
Dia menyatakan pada beberapa pembahasan (kebijakan) ada uang yang diberikan.
Lebih lanjut, JPU KPK juga menanyakan apakah saat hiring ada pemasukan tambahan.
Subur menyatakan hal itu kerap terjadi.
"Sekali-kali ada Rp 10 juta, dibagi seluruh komisi," katanya.
Di sisi lain, para terdakwa anggota DPRD Kota Malang kompak membantah semua keterangan dari saksi Subur Triono saat sidang kasus suap yang menimpa DPRD Kota Malang di Pengadilan Tipikor, Surabaya.
Dimulai dari Sulik Lestiyowati Ketua Komisi A itu membantah terkait pertemuan dengan saksi Subur.
Selain itu wanita yang pernah satu komisi dengan saksi Subur ini mengklaim tidak pernah membahas komisi senilai Rp 12,5 juta.
Abdul Hakim selaku Ketua komisi B dia menyebutkan tidak pernah ikut rapat membahas masalah uang tersebut.
“Kami dari perekonomian, dan kami ada inisiatif terkait pengembalian uang Pokir namun kami tidak berani karena kami tidak tahu persoalan itu uang tersebut,” imbuhnya
Muhan membantah terkait uang 50 juta dari APBD 2015.
Ya’qud Ananda Gudban, juga membantah dengan bantahan serupa dengan terdakwa lainnya.
Ketua Komisi D Imam Fauzi menambahkan pembahasan uang pokir tidak pernah dimusyawarahkan.
“Perlu kami luruskan, ketua komisi D di anggota Banggar, saya tidak pernah duduk di badan musyawarah, kedua, dia bilang pernah ketemu dengan saya terkait pengembalan Rp 12 juta, padahal saya tidak pernah bertemu dengan dia,” pungkasnya.
TribunJatim.com, Syamsul Arifin