Mojokerto
Kisah Mengerikan Suami Istri dan Anaknya asal Mojokerto saat Gempa dan Tsunami di Palu
Sebagian warga menyuruh kami tiarap. Tetapi kami tak mau. Suami saya mempunyai insting, bahwa kami harus lari ke tempat yang lebih tinggi.
Penulis: Danendra Kusuma | Editor: yuli
"Sebagian rumah juga terlihat hancur, saya juga melihat ada genangan air di jalan. Saya kira itu air laut," kata Dian.
Tak berhenti di situ, tiba-tiba goncangan gempa kembali terjadi. Semua warga yang berkumpul di luar rumah panik berhamburan mencari perlindungan.
"Sebagian warga menyuruh kami tiarap. Tetapi kami tak mau. Suami saya mempunyai insting, bahwa kami harus lari ke tempat yang lebih tinggi," katanya.
Kemudian mereka pun memilih mengambil langkah seribu. Mereka tak memperdulikan harta benda yang berada di dalam rumah. Bahkan, mereka tak memakai alas kaki ketika berlari.
Jarak antara bukit dan rumahnya sekira 10 km. Mereka menempuh waktu sekira satu setengah jam. Mereka berlari bersama 8 orang warga lain.
"Kami lari sambil berpegangan tangan, sampai anak saya terseret sangking paniknya," katanya.
Setengah perjalanan, dia menengok ke arah belakang. Dia melihat ada kepulan asap serta suara yang bergemuruh.
Sembari berlari, suami yang berada di sampingnya mengusap kepalanya dan menenangkannya.
"Kami terus naik untuk menyelamatkan diri," ucapnya.
Akhirnya, mereka sampai di atas bukit. Dian dan suaminya memilih untuk tinggal sementara di atas bukit karena guncangan gempa masih terasa. Tanpa penerangan dan tanpa alas tidur.
Senter dari gawai adalah salah satu sumber penerangannya. Di atas bukit hanya terdengar suara klakson kendaraan yang bersahutan.
"Tak lama hape saya drop (mati). Gelap gulita. Saat itu Awan mendung tak ada bintang. Kami berpegangan dan berpelukan, anak saya tidur, saya duduk. Mata kami membelalak terus waspada. Kami tak membawa makanan, hanya mengandalkan air minum yang diberi warga lain," ungkapnya.
Sekira pukul 05.00 pagi, dari arah utara ada beberapa orang yang sekujur tubuhnya dipenuhi lumpur berjalan di hadapan mereka.
Ketiga orang itu semakin takut. Rupanya, desa yang berada di atas bukit dari tempat mereka berlindung terbenam lumpur.
"Itu wilayah Sigi. Bukan terkena tsunami tetapi rumah di sana porak poranda diterjang lumpur (likuifaksi)," timpal Afif.