Citizen Reporter
Gempa Palu Nyaris Merenggut Nyawa Saya - Kesaksian Mantan Wartawan SURYA (Bagian 2)
Walaupun tidak sempat makan malam, saya tidak merasa lapar sama sekali. Namun sangat kehausan.
BERTAHAN HIDUP TANPA MAKAN DAN MINUM
SAYA benar-benar tidak sadar bagaimana caranya sehingga bisa meloloskan diri dari maut ketika gempa terjadi.
Pecahan kaca (beling) yang berserakan mulai dari kamar hotel hingga halaman luar saya lalui dengan telanjang kaki. Dengan getaran yang sangat dahsyat itu, rasanya Swiss-Bel Hotel Palu sudah mau ambruk saat itu.
Karena itulah, ketika saya melompat keluar kamar hotel tidak sepotongpun pakaian dan peralatan penting saya selamatkan. Tustel merk Canon dan dua telepon seluler (HP) yang biasanya tidak pernah lepas dari genggaman saya, juga tidak sempat saya raih. Dalam hitungan detik, saya sudah berada di luar hotel.
Yang jadi ketakutan saya saat itu, hotel berjaringan internasional ini berada di bibir pantai. Artinya, jika terjadi gelombang tsunami maka lokasi ini sangat berbahaya.
Baca: Kesaksian Mantan Wartawan SURYA Menyelamatkan Diri dari Tsunami di Palu
Jika ingin selamat, harus menjauh dari hotel. Pelarian paling aman adalah daerah pegunungan.
Berdasarkan kejadian sebelumnya, gempa dan tsunami Flores (12 Desember 1992) serta gempa dan tsunami Aceh (26 Desember 2004), gelombang tsunami cukup tinggi dengan hempasan ke daratan mencapai 2 sampai 3 kilometer.
Karena itu daerah paling aman jika terjadi gempa seperti itu adalah mencari tempat yang jauh dari pantai, terutama tempat yang tinggi.
Kekhawatiran itu benar terjadi. Baru beberapa detik berada di halaman hotel, gemuruh gelombang tsunami sudah menghantam bangunan hotel.
Kami berhamburan menyelamatkan diri. Ratusan tamu dan karyawan Swiss-Bel Hotel lari menyelamatkan diri dengan cara masing-masing.
Seorang bapak yang tampak tidak bisa bergerak cepat, nyaris saya tabrak.
Dia sempat minta tolong namun saya juga harus menyelamatkan diri. Semburan air bah sudah berada beberapa meter di belakang kami.
Ketika saya sudah berada di tempat pelarian yang tinggi daerah Donggala Kodi (sekitar tiga kilometer dari hotel) bersama pak Raimon Arumpone (Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Kabupaten Morowali Utara), baru saya tersadar bahwa nyawa saya benar-benar terancam hanya dalam hitungan detik.
Walaupun tidak sempat makan malam, saya tidak merasa lapar sama sekali. Namun sangat kehausan.
Masalahnya hampir semua pengungsi dadakan itu tidak sempat membawa air minum.