Citizen Reporter
OPINI - Hentikan Kekerasan untuk Menyudahi Konflik di Papua
Meski kini pemerintahan Jokowi mulai menggalakkan pembangunan di Papua, tetapi pembangunan hanya dimaknai secara fisik dan membiarkan pelanggaran HAM.
Pelaku kekerasan – aparat keamanan, ormas, dan pihak-pihak terkait – harus secara langsung mengakui kesalahan fatal yang mereka lakukan selain juga meminta maaf.
• 6 Saksi Mengaku Lihat Perusakan Tiang Bendera di Asrama Mahasiswa Papua tapi Itu Belum Cukup Bukti
• Mahasiswa Papua di Surabaya Menjawab: Omong Kosong soal Bendera Merah Putih Dirusak atau Dibuang

Penertiban perilaku koersif dan penggunaan kekerasan juga harus segera dilakukan. Kepolisian harus menindak tegas aparat yang terlibat dalam kekerasan serta ormas sebagai preseden pengurangan tindakan represif sekaligus memastikan tindakan tidak akan terulang (guarantees of non-repetition) di masa depan.
Selain itu, pemerintah harus mengkondisikan agar kekerasan tidak menjalar lebih jauh dan situasi di Papua menjadi kondusif.
Upaya yang dapat dirintis sedini mungkin adalah memulai dialog holistik antara pemerintah pusat dan Papua.
Dialog ini mencakup rencana pembangunan yang tidak terbatas pada infrastruktur fisik, tetapi berpusat pada manusia dengan menerapkan perspektif HAM.
Pembukaan dialog tidak bisa hanya berada pada tataran elit politik pemerintah daerah, tetapi juga melibatkan masyarakat untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan mengingat maraknya praktik korupsi yang terjadi di Papua.
Tentu saja, dialog yang dilakukan harus mengedepankan pendekatan sipil, bukan pendekatan keamanan yang terbukti rawan kekerasan seperti di masa lalu.
Dengan membuka dialog dan mendengarkan aspirasi semua pihak, konflik diharapkan bisa berakhir.
Keadaan yang tidak boleh terus berlangsung
Konflik di Papua yang melibatkan kekerasan dimulai sejak dekolonisasi ketika pemerintah kolonial Belanda beranjak dari Papua dan Indonesia mulai menapakkan kekuatan melalui militer di sana.
Rasialisme dan stigmatisasi terhadap masyarakat Papua menyebabkan dehumanisasi yang melanggengkan sikap negatif dan perseteruan. Masyarakat Papua menghadapi rasialisme dan stigmatisasi di Indonesia dengan pandangan bahwa mereka ‘setengah binatang’.
Pandangan ini tampak pada sebutan “monyet” yang ditujukan kepada mahasiswa Papua dalam insiden di Surabaya baru-baru ini. Menyebut masyarakat Papua dengan binatang merupakan bentuk dehumanisasi; martabat masyarakat Papua sebagai manusia yang harus dijaga dan dihormati oleh sesama tidak digubris.
Pandangan ini kemudian menjadi pembenaran atas tindak kekerasan terhadap masyarakat Papua. Kekerasan telah hadir dalam sejarah panjang Papua dan menjadi salah satu sumber konflik.
Aparat keamanan, termasuk kepolisian dan TNI, memiliki jejak kekerasan disertai pelanggaran HAM yang mendalam di tanah Papua, terlebih pada masa DOM.
Hingga kini, cara-cara koersif dan kekerasan masih menjadi rujukan penanganan konflik yang melibatkan masyarakat Papua, baik di Papua maupun di luar Papua. Bahkan masyarakat sipil–seperti anggota organisasi masyarakat (ormas) pun terlibat. Kekerasan yang dipelihara akan menjadi residu konflik.