Malang Raya
Mengabdi untuk Mereka yang Tuli, Ghani hingga Harus Belajar Koding
Pada 23 September, diperingati sebagai Hari Bahasa Isyarat Internasional (HBII). Para ‘Teman Tuli’ harusnya bisa beraktivitas seperti ‘Teman Dengar’.
Penulis: Aminatus Sofya | Editor: yuli
SURYAMALANG.COM, KLOJEN - Ghani Ilham berkenalan dengan bahasa isyarat sejak 2016 ketika ia ditunjuk menjadi asisten praktikum di Fakultas Teknologi Pertanian.
Salah satu mahasiswa yang Ghani dampingi, adalah seorang tuli. Sebagai orang awam, Ghani sama sekali tak bisa bahasa isyarat kala itu. Satu huruf pun, belum pernah dia tahu bagaimana isyaratnya.
"Saya bingung banget, saya nggak bisa kan bahasa isyarat. Dari itu, saya tertarik belajar bahasa isyarat, supaya bisa membantu temen-temen disabilitas rungu," kata Ghani, Minggu (22/9/2019).
Dari situ, Ghani bergabung dengan Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya (UB). Sebelum menjadi relawan, Ghani diwajibkan mengikuti pelatihan bahasa isyarat dasar.
"Isyarat dasar itu seperti bagimana mengisyaratkan huruf. Dari situ, mulai bisa kalau diminta komunikasi, meskipun sangat terbatas," ucap pemuda 24 tahun ini.
• Prof Dr Efendi: Penyandang Tunarungu Kelak Harus Paham Teknologi
Setelah belajar bahasa isyarat dasar, Ghani belajar sendiri dengan berinteraksi bersama teman-teman tuli. Isyarat demi isyarat mulai dia kuasai. Terkadang pula, video di youtube menjadi alatnya untuk belajar bahasa isyarat.
Pria asal Surabaya itu menceritakan pernah mendampingi mahasiswa Ilmu Komputer. Padahal, ia sama sekali tidak paham istilah koding dan teknologi informasi yang lain.
"Mau nggak mau ya ikutan belajar. Kalau mahasiswa di fakultas sosial masih bisa, istilahnya kan saya ngerti. Kalau sains itu yang susah," katanya. Relawan lain, Asfarina Fitriattaris mengungkapkan hal sama. Dia sempat kebingungan menjelaskan mata kuliah di Fakultas Teknik.
"Bingung banget. Nggak pernah dengar istilahnya kan," tutur perempuan yang akrab disapa Taris ini. Sebetulnya kata Taris, PSLD telah membuat sebuah aplikasi yang memuat isyarat akademis. Namun, kata-kata yang ada di dalam aplikasi itu sangat terbatas dan perlu pembaruan.
"Menurut saya juga lebih enak belajar ke temen-temen tuli sendiri. Lebih banyak kata-kata yang bisa dieksplore," katanya.

Ingin yang lain peduli
Bagi Taris, penyandang tuli mempunyai hak yang sama dalam semua hal. Karenanya, ia gencar mengampanyekan bahasa isyarat bersama relawan di PSLD UB.
"Saya ingin semua orang itu ada keinginan belajar bahasa isyarat. Itu penting supaya temen-temen kita yang tuli bisa mendapatkan hak yang sama," ucap Taris. Menurut Taris, tidak lah susah belajar bahasa isyarat. Kata dia, bahasa isyarat layaknya bahasa asing yang butuh pendalaman karena terdapat sejuta kata di dalamnya.
"Sama kayak bahasa asing itu, ada banyak kata dan kita mesti hafal satu-satu. Memang butuh pendalaman," ucap mahasiswa Sastra Jepang ini. Taris mengatakan dia masih terus belajar bahasa isyarat.
Menurutnya, kesetaraan terhadap mahasiswa tuli bisa terwujud apabila ada kepedulian dari orang-orang yang lahir secara normal.