Pertunjukan Wayang Potehi

Eksistensi Kisah Klasik di Era Milenial

Suara alunan musik khas negeri Tiongkok terdengar merdu dibalik bilik merah di Klenteng Eng An Kiong Kota Malang. Potehi siap menghibur penontonnya.

Penulis: Mochammad Rifky Edgar Hidayatullah | Editor: Hesti Kristanti
suryamalang.com/m rifky edgar h
Pertunjukan Wayang Potehi di Kelenteng Eng An Kiong, Sabtu (15/2/2020). Pertunjukan ini tak lagi digelar saat Imlek, tapi rutin untuk menarik minat anak muda. 

SURYAMALANGCOM, KLOJEN - Suara alunan musik khas negeri Tiongkok terdengar merdu dibalik bilik berwarna merah di Klenteng Eng An Kiong Kota Malang.

Musik tersebut menjadi pelengkap dari pertunjukan wayang potehi yang menceritakan tentang kisah berdirinya Dinasti Song.

Sang dalang memainkan lakon wayang potehi ini di depan tujuh orang penonton yang semuanya sudah berumur.

Pertunjukkan itu berlangsung selama empat jam dan tak terasa penonton yang masih menonton hanya berjumlah empat.

Fenomena tersebut sering dirasakan oleh dalang yang menjadi aktor utama di dalam pertunjukan Wayang Potehi.

Sepinya penonton ini dikarenakan, masih banyak masyarakat terutama kaum mileneal yang tidak tertarik untuk menonton wayang potehi ini.

Kejadian ini justru berbanding terbalik dengan pertunjukkan wayang potehi pada tahun 80's hingga 90's.

"Ini adalah tantangan kami agar bagaiamana seni dan budaya wayang potehi bisa dinikmati dan diterima kembali oleh masyarakat," ucap Soni Frans Asmara, dalang Wayang Potehi saat ditemui Surya, dalam sebuah pertunjukan di Klenteng tersebut, Sabtu (15/2/2020) kepada SURYAMALANG.COM.

Agar masyarakat tertarik untuk menonton seni pertunjukan wayang potehi ini, Soni biasanya mengganti alur ceritanya.

Alur cerita ini biasanya diselaraskan dengan tempat, di mana wayang potehi ini dimainkan.

Apabila mainnya di Klenteng, pihaknya akan memainkan legenda-legenda Tiongkok.

Namun, apabila bermain di kampus ataupun di sekolah, maka akan disesuaikan dengan cerita-cerita percintaan khas anak muda.

"Kalau dulu memang lebih banyak menceritakan legenda Tiongkok dengan bahasa Hokkian.”

“Tapi saat ini wayang potehi sudah universal. Jadi kami modifikasi dan memakai bahasa Indonesia," ucapnya.

Sebagai dalang, dalam memainkan wayang potehi ini pun, dia juga melihat reaksi dari para penonton.

Biasanya ide-ide yang muncul dalam pertunjukkan wayang potehi ini didapatkan secara spontan.

 Muasal Wayang Potehi

Soni menceritakan, sejarah awal mulanya wayang potehi ini berasal dari lima orang yang dihukum mati oleh sang raja di negara Tiongkok.

Akan tetapi, salah satu dari mereka memiliki ide unik dalam mengisi waktu luangnya selama menjalani hukuman.

Yaitu dengan memanfaatkan alat dan bahan seadanya di dalam penjara yang kemudian mereka buatkan sebuah boneka.

Boneka tersebut kemudian dimainkan dengan menggunakan suara musik yang mereka dapatkan dari pecahan piring dan panci.

Hal tersebut menjadi hiburan mereka selama menjalani hukuman. Hingga akhirnya sang raja mendengar alunan musik tersebut dan meminta kepada mereka untuk tampil di depannya.

"Dulu ceritanya mengkritik pemerintahan karena ketidakadilan. Kalau kami masih memakai pakem yang lama, pasti wayang potehi ini tidak akan dilirik.”

“Maka dari itu kami modifikasi dan kami sesuaikan kembali," ucapnya.

Tak hanya itu, Soni juga berterima kasih kepada yayasan Fu He An yang telah melestarikan dan memfasilitasi wayang potehi sehingga masih ada di era sekarang.

Yayasan Fu He An berdomisili di Gudo, Jombang dan didirikan oleh Toni Harsini.

Yayasan ini fokus dalam melestarikan seni wayang potehi kepada masyarakat.

"Kalau tidak ada beliau yang melestarikan saya tidak tahu nasib wayang potehi ini.”

“Karena sudah sejak kecil saya berkecimpung di dunia wayang potehi. Karena bapak dulunya seorang dalang juga," ucapnya.

Nostalgia Penonton

Meskipun pertunjukkan seni wayang potehi ini lebih banyak ditonton masyarakat yang sudah berumur.

Masih ada beberapa ibu-ibu muda yang tertarik untuk melihat wayang potehi.

Seperti yang dilakukan oleh Vina, seorang ibu muda yang membawa dua orang anaknya yang masih kecil untuk menonton wayang potehi di Klenteng Eng An Kiong Malang, Sabtu itu.

Dia mengaku, di tahun ini baru pertama kali melihat seni pertunjukkan wayang potehi.

Walaupun sebelumnya dia pernah menonton bersama dengan orang tuanya sewaktu masih kecil.

"Memang saya sengaja ingin menonton wayang potehi. Saya ini baru tahu kemarin ketika lewat klenteng,” terang Vina.

“Untuk itu saya ajak anak saya ke sini sembari mengenalkan ke mereka," ucapnya.

Akan tetapi, Vina merasa ada yang aneh dalam menonton wayang potehi di tahun 2020 ini.

Keanehan itu ia rasakan, ketika melihat sepinya penonton yang melihat seni pertunjukkan ini.

Padahal, kata dia, sewaktu kecil dulu pertunjukkan wayang potehi di Klenteng Eng An Kiong selalu ramai oleh pengunjung.

Bahkan, di sekitaran Klenteng Eng An Kiong sampai dipenuhi pedagang kaki lima yang menjajakan mainan anak-anak hingga jajanan khas Tionghoa.

"Kalau dulu lihat pasti desak-desakan sewaktu saya kecil meski saya tidak tahu alur ceritanya.”

“Tapi anak-anak muda sekarang sepertinya lebih gemar bermain ponsel dibandingkan melihat wayang potehi," ucapnya.

Sumber: Surya Malang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved