TRAGEDI AREMA VS PERSEBAYA

Kasus Tragedi Kanjuruhan Bak Kasus Ferdy Sambo, Kontras Sebut Ada Upaya Obstruction of Justice

Sekejn KontraS : kami melihat, polisi sebagai penegak hukum justru melakukan penghambatan, obstruction of justice menghambat upaya penegakan huku

KOLASE - SURYAMALANG.COM/Luhur Pambudi/suarabobotoh
ILUSTRASI - Perbandingan rekonstruksi penembakan gas air mata Tragedi Kanjuruhan. Dugaan ada upaya Obstruction of Justice dalam penanganan kasus Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 disampaikan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (KontraS). 

Bisa saja dalam rekaman CCTV yang hilang itu, merupakan menit krusial awal akan terjadinya tindak kekerasan berlebihan yang dilakukan oleh aparat.


Sebab, temuan awal yang dilakukan oleh TGA bersama KontraS menyebutkan, bahwa aparat yang berada di lokasi dipersenjatai dengan gas air mata.

Hal ini disinyalir ada sebuah koordinasi dan proses pemberian perintah antara para personil kepolisian di lokasi yang itu dilakukan sebelum tindakan kekerasan berlebihan saat selesainya pertandingan.

"Saya juga mendapatkan informasi bahwa TGIPF telah menyatakan bahwa sekian jam dari rekaman CCTV itu hilang. Saya tidak tahu, polisi kita itu memang kerja atau ngerjain sih. Kalau TGIPF dikerjain, gimana yang lain," terangnya.

Baca juga: Autopsi 2 Aremanita Korban Tragedi Kanjuruhan Berpeluang Bisa Dilakukan, TGIPF Beri Dukungan

Sebelumnya KontraS juga menyebut adanya dugaan intimidasi polisi sehingga rencana autopsi pada 20 Oktober lalu batal dilakukan .

Proses autopsi korban Tragedi Kanjuruhan akhirnya gagal dilaksanakan dalam waktu dekat ini sesuai pernyataan Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Tony Hermanto.

Kapolda Jatim yang baru dilantik itu mengatakan, bahwa tindakan autopsi jenazah korban tragedi Kanjuruhan urung dilakukan karena pihak keluarga tidak mengizinkan.


Menindaklanjuti hal tersebut, Andi Irfan menuding, bahwa gagalnya autopsi ini karena ada upaya intimidasi dari polisi kepada keluarga korban.

Hal ini berdasarkan pengakuan dari pihak keluarga korban yang bernama Devi Athok Yulfitri, warga Bululawang, Kabupaten Malang.

Devi kehilangan dua anaknya, dan sempat meminta agar jasad kedua anak perempuannya yang jadi korban Tragedi Kanjuruhan diautopsi.

Akan tetapi, Devi akhirnya menandatangani surat pencabutan kesediaan untuk dilakukan autopsi setelah berulangkali rumahnya didatangi polisi.

"Di sini Keluarga korban punya pemahaman, bahwa polisi sedang mengancam dan mengintimidasi, walaupun tidak ada kata-kata verbal yang mengarah ke sana. Tapi kehadiran mereka adalah ancaman kepada keluarga korban," ucapnya saat ditemui Surya, Rabu (19/10/2022).

Devi Athok Yulfitri menunjukkan foto kedua putrinya yang telah meninggal dunia, jadi korban Tragedi Kanjuruhan di kediamannya, Rabu (19/10/2022). Dia berharap jenazah du aputrinya diautopsi tapi takut
Devi Athok Yulfitri menunjukkan foto kedua putrinya yang telah meninggal dunia, jadi korban Tragedi Kanjuruhan di kediamannya, Rabu (19/10/2022). Dia berharap jenazah du aputrinya diautopsi tapi takut (SURYAMALANG.COM/Purwanto)


Dalam kasus ini, Andi menyampaikan, bahwa Devi telah diarahkan menulis surat pernyataan yang berisi pembatalan atas rencana autopsi.

Dia mengatakan, bahwa aparat kepolisian dari Polres Malang yang mengarahkan secara detail, bagaimana cara membuat surat pernyataan yang berisi pembatalan rencana autopsi.

Padahal, Devi sebelumnya telah membuat surat pernyataan bahwa bersedia kedua anaknya untuk diautopsi.

Halaman
123
Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved