Berita Blitar Hari Ini

Pembunuhan di Madrasah Tsanawiyah di Blitar, Inilah 3 Dosa Besar Pendidikan yang Harus Dihapus

Peringatan sosiolog yang juga Direktur Pusat Kajian dan Analisa Sosial Budaya Universitas Islam Blitar (Unisba), Novi Catur Muspita, soal bullying.

|
Penulis: Nuraini Faiq | Editor: Yuli A
suryamalang.com
Sosiolog yang juga Direktur Pusat Kajian dan Analisa Sosial Budaya Universitas Islam Blitar (Unisba), Novi Catur Muspita 

SURYAMALANG.COM, BLITAR -  Kasus bullying atau perundungan berujung kematian siswa kembali terjadi di lembaga pendidikan.

Sosiolog yang juga Direktur Pusat Kajian dan Analisa Sosial Budaya Universitas Islam Blitar (Unisba), Novi Catur Muspita, mengingatkan, kita tidak hanya sebatas mengaku prihatin atas rentetan kekerasan ini.

Apalagi ini terjadi di lembaga pendidikan keagamaan, Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri 1 di Desa Kunir Kecamatan Wonodadi, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Nyawa siswa melayang di tangan teman sendiri dan di kelas sekolah setingkat SMP itu. Ini menjadi pukulan telak bagi seluruh pelaku pendidikan.

Kepala sekolah, guru Kemenag maupun Kemendikbud dan semua stake holders harus menghentikan bullying ini. "Sekolah adalah tempat menuntut ilmu. Belajar tentang nilai, norma agama, sosial, kesopanan. Sekolah harus aman dan nyaman untuk semua," kata Novi.

Baca juga: Siswa Belajar Cara Membunuh dari YouTube, Diterapkan ke Teman di MTs Negeri Kunir, Blitar

Sebenarnya sudah ada pranata pendidikan, aturan dan pendidikan karakter di sekolah. Namun pada implementasinya belum optimal.

Bahkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berkomitmen penuh untuk menghapus 'tiga dosa besar' di dunia pendidikan yaitu intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual.

Caranya dengan keluar Permendikbud nomor 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan untuk tingkat PAUD, Dasar dan Menengah.

Sekolah kini berlomba-lomba membangun pendidikan karakter. Penyampaian materi pendidikan karakter dan nilai atau norma sudah dilaksanakan. Namun kurang diimbangi dengan namanya kontrol sosial.  

"Tidak bisa antikekerasan hanya cukup dibaca atau dihafalkan. Atau seremonial saja. Tapi lebih ke praktik sosial dengan internalisasi siswa. Melekat jiwa dan batin siswa. Kepedulian, simpati, empati itu harus ditanamkan dan ditumbuhkan," tandas Novi.

Orang melakukan kekerasan di usia belum matang bisa karena pengaruh kepribadian yang menyimpang atau ingin mencari perhatian dan popularitas. Apalagi di era keterbukaan informasi dan digitalisasi saat ini. 

Novi melihat pengaruh HP dan medsos begitu kuat. Di Indonesia juga sangat bebas menyuguhkan berbagai konten, baik edukatif dan sebaliknya. Termasuk konten kekerasan sangat mudah diakses. Usia remaja belum bisa memilah lebih jauh. 

Generasi gadget saat ini juga menggejala. Novi menyebut ciri anak kecanduan gagdet (medsos) cenderung antisosial, tidak komunikatif, tidak peka terhadap lingkungan, tidak punya rasa empati dan simpati dan tidak bisa berfikir jernih.

Potensi kekerasan di sekolah akan terus mengancam. Apalagi di era gadget begini. Semua pelaku pendidikan, sekolah, kepala Sekolah, guru, pejabat Kemenag maupun Kemendikbud untuk semakin memberi perhatian lebih terhadap pendidikan karakter.

Penanaman nilai dan norma agama, kesusilaan, kesopanan, melalui mata pelajaran muatan lokal khusus pendidikan karakter. Tiga dosa besar pendidikan yaitu antitoleransi, perundungan dan kekerasan seksual harus dihapus dari muka bumi pendidikan. Sekolah wajib menjamin keamanan dan keselamatan siswa di lingkungan sekolah.

Update Berita Terkini Malang dan Jawa Timur via Google News

http://suryamalang.com | IG: @suryamalangcom | youtube suryamalang.com
http://suryamalang.com | IG: @suryamalangcom | youtube suryamalang.com (KLIK)
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved