Putusan MK BEDA dalam Sehari Soal Batas Usia Capres-Cawapres, Tolak PSI tapi Kabulkan Gugatan Almas

MK mengabulkan sebagian gugatan terkait batas usia capres-cawapres yang dilayangkan oleh mahasiswa UNS, Almas Tsaqibbirru RE A.

Editor: Dyan Rekohadi
Tribunnews/Jeprima
Suasana sidang permohonan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (16/10/2023). . 

SURYAMALANG.COM  - Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan berbeda terkait batas usia capres-cawapres dalam sehari ini, Senin (15/10/2023).

MK menolak gugatan terkait batas usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum lewat sidang pleno putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta pada Senin (16/10/2023) dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Selang sekian jam kemudian, MK mengabulkan sebagian gugatan terkait batas usia capres-cawapres yang dilayangkan oleh mahasiswa UNS, Almas Tsaqibbirru RE A.

Baca juga: MK Tolak Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres, Aliansi Mahasiswa Jatim Sambut Positif

Di saat belum reda kelompok masyarakat dan mahasiswa yang mendukung penolakan gugatan batas usia capres-cawapres menyambut putusan MK menolak gugatan PSI , ternyata MK membuat putusan baru lagi.

Putusan baru jusru menerima gugatan.

Kini artinya calon presiden dan calon wakil presiden bisa dari mereka ang usianya di bawah 40 tahun.

 

Putusan MK Kabulkan Gugatan mahasiswa UNS

Untuk diketahui, mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru RE A pada gugatannya berharap agar kepala daerah yang belum berusia 40 tahun bisa mencalonkan diri sebagai capres/cawapres.

Dalam gugatannya, pemohon turut menyinggung soal Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka.

Ia menganggap bahwa Gibran merupakan tokoh inspiratif ketika menjabat sebagai orang nomor satu di Solo.

"Bahwa pemohon juga memiliki pandangan tokoh yang inspiratif dalam pemerintahan di era sekarang yang juga menjabat sebagai Wali Kota Surakarta di masa periode 2020-2025," demikian bunyi gugatan tersebut saat dibacakan pada 5 September 2023 .

Sehingga, dengan landasan tersebut, pemohon menganggap sudah selayaknya Gibran bisa maju dalam kontestasi Pilpres.

Hanya saja, potensi tersebut terhalang dengan syarat usia minimal capres-cawapres lantaran putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih berumur 35 tahun.

"Bahwa pemohon tidak bisa membayangkan terjadinya jika sosok yang dikagumi para generasi muda tersebut tidak mendaftarkan pencalonan presiden sedari awal."

"Hal tersebut sangat inkonstitusional karena sosok wali kota Surakarta tersebut mempunyai potensi yang besar dan bisa dengan pesat memajukan Kota Solo secara pertumbuhan ekonomi," demikian argumen dari Almas.

Dia juga meminta berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah bisa jadi capres.

Dengan petitum tersebut, MK pun mengabulkan sebagian permohonan dari Almas.

"Mengabulkan permohonan untuk sebagian," kata Ketua MK, Anwar Usman dalam sidang pleno putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Senin (16/10/2023) dikutip dari YouTube MK.

MK memutuskan bahwa syarat capres-cawapres adalah berusia 40 tahun atau kepala daerah yang sedang atau pernah dipilih lewat pemilihan umum (Pemilu).

Selanjutnya, MK, dalam penjelasannya, membandingkan syarat usia capres saat ini yaitu 40 tahun, syarat usia gubernur 35 tahun dan syarat usia calon bupati/wali kota berusia 25 tahun, serta caleg berusia minimal 21 tahun.

MK menilai aturan semacam ini tidak selaras dengan semangat konstitusi.

"MK berpendapat kepala daerah layak berpartisipasi dalam kontestasi dalam Pemilu meskipun berusia 40 tahun," ujar hakim MK, Guntur Hamzah.

Hamzah berpendapat bahwa pembatasan usia minimal capres-cawapres 40 tahun bisa berpotensi untuk menghalangi kalangan anak muda menjadi pemimpin negara.

Selain itu, sambungnya, syarat semacam itu turut menimbulkan ketidakadilan dalam konteks Pilpres.

"Pembatasan usia yang hanya diletakkan pada usia tertentu tanpa dibuka syarat alternatif yang setara merupakan wujud ketidakadilan yang intelorable dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden," kata Hamzah.

Sementara bunyi putusan dikabulkannya gugatan ini yaitu:

"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, 'berusia paling rendah 40 tahun' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihakn kepala daerah," kata Anwar Usman.

Putusan ini pun berlaku mulai Pilpres 2024.

Baca juga: Reaksi PDIP Kota Malang Setelah MK Tolak Syarat Capres-Cawapres 35 Tahun

Gugatan PSI

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait batas usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum lewat sidang pleno putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta pada Senin (16/10/2023).

Putusan ini terkait gugatan dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan nomor gugatan 29/PUU-XXI/2023.

"Amar Putusan, Mengadili: Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK, Anwar Usman dikutip dari YouTube Mahkamah Konstitusi.

Adapun putusan ini disepakati lewat Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) oleh sembilan hakim konstitusi yaitu Anwar Usman, Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan Sitompul, Daniel Yusmic P. Foekh, Enny Nurbaningsih, M Guntur Hamzah, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams.

Kendati demikian ada dissenting opinion atau perbedaan pendapat dari hakim Suhartoyo dan hakim M Guntur Hamzah.

Hakim Suhartoyo mengatakan bahwa gugatan yang diajukan maka perlu dicermati yaitu tekrait persayratan keseluruhan dalam pencalonan presiden dan wakil presiden sebagaimana ditentukan dalam pasal 169 UU Nomor 7 Tahunn2017.

Suhartoyo mengatakan bahwa pada hakikatnya persyaratan untuk menjadi capres-cawapres adalah persyaratan yang melekat pada calon yang akan mendaftarkan.

Sehingga belum dapat dikaitkan dengan persyaratan lainnya terkait pendaftaran sebagai capres-cawapres.

"Misalnya berkaitan dengan tata cara pengusulan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum', serta tata cara penentuan, pengusulan dan penetapan sebagaimana diantaranya dimaksudkan dalam Pasal 221 dan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017," katanya.

 
Suhartoyo mengungkapkan bahwa filosofi dan esensi dari Pasal 169 UU 7 Nomor 2017 hanya berlaku untuk subjek hukum yaitu orang yang mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres.

Alhasil, Suhartoyo mengatakan ketika ada orang lain yang tidak mencalonkan diri sebagai capres-cawapres menggugat pasal tersebut, maka hal tersebut tidak dapat dilakukan.

"Oleh karena itu, ketika seseorang yang pada dirinya bukan sebagai subjek hukum yang akan mencalonkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden, maka sesungguhnya subjek hukum dimaksud tidak dapat mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 169 UU Nomor 7 Tahun 2017," katanya.

"Dengan demikian terhadap para Pemohon tidak terdapat adanya anggapan kerugian baik aktual maupun potensial dan oleh karena itu terhadap para Pemohon tidak relevan utnuk diberikan kedudukan hukum atau legal standing dalam permohonan a quo dan oleh karenanya seharusnya Mahkamah menegaskan permohonan a quo tidak memenuhi syarat formil dan menyatakan permohonan para Pemohon tidak diterima," sambung Suhartoyo.

Sementara hakim M Guntur Hamzah berpendapat bahwa permohonan uji materil dari pemohon dikabulkan sebagian sehingga pasal yang digugat dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'.

Pernyataan Guntur ini dilandasi dengan anggapan bahwa penentuan batas usia capres-cawapres adalah tatanan konstitusional yang ingin dibentuk dan diharapkan berlaku ajeg dan elegan.

"Serta menghentikan praktik penentuan batas usia yang berubah-ubah tanpa ukuran konstitusional yang jelas dalam menentukan usia yang tepat untuk menjadi calon Presiden atau calon Wakil Presiden," kata Guntur.

Guntur menegaskan bahwa penyelesaian polemik batas usia capres-cawapres ini dapat diselesaikan dalam kerangka hukum konstitusi sesuai dengan tugas hakim dan keweangan Mahkamah menurut Pasal 24 ayat (1) dan pasal 24C UUD 1945.

Kemudian, Guntur mengatakan, secara historis, bahwa usia Presiden atau Wakil Presiden di Indonesia pernah dijabat oleh seseorang yang berusia di bawah 40 tahun atau 35 tahun ke atas.

Di sisi lain, berkaca dari negara lain, beberapa negara telah mengatur soal batas usia Presiden setidaknya berusia 35 tahun.

"Terdapat pula Perdana Menteri yang berusia dibawah 40 tahun ketika dilantik/menjabat contohnya Sebastian Kurz yang diangkat menjadi kanselir Austria di usia 31 tahun dan masih banyak lagi yang terpilih atau dilantik pertama kali dalam usia di bawah 40 tahun," kata Guntur.

Guntur menilai soal aturan batas usia capres-cawapres juga diperlukan untuk melihat dinamika dan kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan ketatanegaraan.

"Sehingga dapat diartikan bahwa hal tersebut merupakan suatu hal yang bersifat adaptif/fleksibel sesuai dengan perkembangan dinamika kehidupan berbangsa/bernegara sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan ketatanegaraan, dengan mengacu pada prinsip memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara rasional, adil, dan akuntabel," katanya.

Kendati demikian, Guntur tetap menyoroti jika capres atau cawapres terlalu muda maka menimbulkan pertanyaan tentang kematangannya dalam menjalankan fungsi baik sebagai kepala pemerintahan maupun sebagai kepala negara.

Di sisi lain, batasan umur bukan satu-satunya syarat yang harus dipenuhi capres-cawapres.

Adapun syarat lain yang dimaksud yaitu capres-cawapres harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu serta syarat dipilih secara langsung oleh rakyat.

"Selanjutnya, seandainya seseorang diusung atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, maka mereka tentu harus melewati syarat konstitusional lanjutan yaitu Pasal 6A ayat (1) yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat," kata Guntur.

Dengan deretan landasan pernyataan tersebut, Guntur mengungkapkan bahwa capres-cawapres yang berusia minimal 40 tahun tetap dapat diajukan.

Sementara yang dibawah 40 tahun, tetap dapat diajukan tetapi dengan syarat memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang terpilih lewat Pemilu seperti anggota DPR, DPD, DPRD, Gubernur, Bupati, atau Walikota.

"Artinya, penting unutk memastikan kontestasi pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden berlangsung secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tanpa terhalangi oleh syarat usia 40 tahun semata bagi capres dan cawapres, namun juga tidak mengurang kualitas kepemimpinan bakal calon presiden dan wakil presiden karena tetap memperhatikan syarat pengalaman yaitu pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah," pungkasnya.

 

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com 

 

Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved