LIPSUS
Pandangan Komunitas Paguyuban Terkait Polemik Sound Horeg di Kabupaten Malang
Ketua Komunitas Paguyuban Sound Horeg se-Malang Raya menyatakan, adanya polemik tersebut merupakan hal yang wajar. Karena tidak semua orang menyukai
Penulis: Luluul Isnainiyah | Editor: Eko Darmoko
SURYAMALANG.COM, MALANG - Polemik sound horeg di Kabupaten Malang seakan tidak ada habisnya. Beberapa masyarakat ada yang menyukai hiburan dengan suara musik kencang, namun sebagian masyarakat ada yang menolaknya karena dirasa cukup mengganggu pendengaran.
Menurut Devid Stefan, Ketua Komunitas Paguyuban Sound Horeg se-Malang Raya menyatakan, adanya polemik tersebut merupakan hal yang wajar. Karena tidak semua orang bisa menyetujuinya.
Pemilik Sound Blizzard Audio asal Desa Talok, Kecamatan Turen itu menyampaikan bahwa keberadaan sound justru bisa meningkatkan kunjungan wisatawan ke Kabupaten Malang.
“Sound horeg sekarang ini bisa meningkatkan pariwisata dan mengenalkan Malang. Karena wisatawan banyak yang datang kepingin lihat soung horeg. Mereka jauh-jauh ada yang dari Kalimantang sampai Bali. Jadi jangan dipikir negatifnya saja,” jelas Devid.
Baca juga: Bahaya Sound Horeg untuk Pendengaran, Bisa Memicu Tuli dan Rasa Sakit
Meskipun ia menyadari bahwa keberadaan sound ini bisa merusak fasilitas umum, namun Devid tetap tidak menginginkan hal itu.
Karena sebelum diselenggarakan karnaval dengan menyewa sound horeg, seharusnya pihak penyewa sudah memperhatikan dampak yang ditimbulkan.
“Sebetulnya kita dari pihak sound gak kepengen (kerusakan fasum), kami hanya menerima sosialisasi dari penyewa ke pihak sound, misalkan lebarnya jalan lebar 5 meter ya kita mikir pemasangan sound tidak lebih dari 4 meter disesuaikan dengan lebar jalan,” urainya.
Kemudian terkait Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum yang akan direvisi merupakan salah satu permintaan dari komunitas sound horeg. Terutama pada poin kejuh yang menyebutkan intensitas suara yang dikeluarkan sound tidak melebihi 60 desibel (dB).
Baca juga: Perda Tentang Sound Horeg di Kabupaten Malang Masih Perlu Direvisi
Devid menilai penentuan 60 dB dalam perda itu tidak berdasar. Karena intensitas 60 dB sama halnya dengan percakapan antar manusia dalam sehari-hari.
“Ukuran 60 dB gak bia dibuat patokan, karena kita ngomong saja sudah 60 dB. Sedangka nsound sendiri gak pake subwoover itu sudah 120 dB. Kalau ditambahi subwoover ketambahan 15 dB an,” terangnya.
Sehingga dengan adanya revisi perda dengan melibatkan komunitas sound, Devid mengaku senang. Karena mereka merasa dilibatkan.
Seperti dalam focus group disussion (FGD) dan dalam uji coba intensitas suara yang dilakukan di Desa Urek-Urek, Kecamatan Gondanglegi, 19 Juli 2024 silam.
Kini mereka tinggal menunggu hearing yang akan dilaksanakan di DPRD Kabupaten Malang yang melibatkan komunitas sound horeg, Satpol PP Kabupaten Malang, Dinas Kesehatan, hingga Dinas Perhubungan.
Akan tetapi dalam proses hearing nanti, Devid meminta panitia juga mengundang seluruh kepala desa di Kabupaten Malang. Karena menurutnya, penyelanggaraan karnaval di setiap desa ini atas persetujuan kepala desa.
“Kalau ada hearing ke masyakat saya harap juga mengundang seluruh kades di Kabupaten Malang. Karena yang mengadakan acara mereka sekaligus penyewa sehingga harapannya bisa disampaikan langsung ke masyarakat,” tukasnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.