LIPSUS Malang Raya Vs TBC

Butuh Dukungan Psikis, Pengidap TBC RO Bisa Sembuh dalam 6 Bulan

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menargetkan Indonesia nol eliminiasi tuberkulosis (TBC) pada 2030.

Penulis: Benni Indo | Editor: Zainuddin
DOK./Bayti Ikhsanita
Bayti Ikhsanita mendampingi pasien TBC RO di RS Saiful Anwar (RSSA) Kota Malang. 

SURYAMALANG.COM, MALANG – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menargetkan Indonesia nol eliminiasi tuberkulosis (TBC) pada 2030. Relawan yang mendampingi pengidap memiliki peran penting dalam mewujudkan tercapainya eliminasi TBC pada 2030.

Posisi relawan sangat penting karena berpengaruh pada konsistensi pengidap TBC mengonsumsi obat. Relawan atau pendamping yang minum obat juga menjadi orang terdekat yang dapat mengenal kehidupan pengidap.

Penyintas dapat menjadi teman bagi pengidap sepanjang masa-masa mengonsumsi obat. Dahulu, pengidap Resisten Obat (RO) atau kebal obat bisa mengonsumsi sampai belasan obat sampai 24 bulan atau 2 tahun.

Kini, pengidap RO kemungkinan bisa sembuh dalam waktu enam bulan. Dalam masa percobaan, bisa saja konsumsi obat mencapai setahun dulu.

Bayti Ikhsanita telah mendampingi pengidap TB sejak 2016. Selama delapan tahun terakhir Manajer TBC RO dari Yayasan Bhanu Yasa Sejahtera (Yabhysa) Kota Malang ini mendampingi pengidap, dan juga memastikan pengidap memiliki pendamping.

Beti juga berinteraksi dengan keluarga pengidap dan memberi semangat kepada pengidap. "Intinya, kami memberi dukungan psikis kepada pengidap," kata Beti kepada SURYAMALANG.COM, Minggu (15/9).

Beti pernah mendampingi lelaki berusia 46 tahun dari Kabupaten Pasuruan. Pada awal-awal pengobatan, keluarga dan tempat kerja pengidap memberi dukungan. Begitu melewati bulan kedua, pengidap tidak lagi mendapat dukungan dari keluarga. Tiba-tiba istri dan anak dari pengidap tersebut pergi dari rumah.

Tak lama kemudian pengidap itu dipecat dari tempatnya bekerja. "Kami upayakan pendampingan hukum agar dia tetap bekerja, namun tidak membuahkan hasil yang bagus," terang Beti.

Sebenarnya pengidap akan mendapat bantuan berupa uang Rp 600.000 dari Kemenkes. Kemenkes memberikan bantuan itu dengan langsung ditransfer ke rekening pengidap. "Pengidap yang saya damping ini sering tanya, kapan bantuan uangnya dikirim," ujarnya.

Beti terus berupaya agar orang tersebut terus mengonsumsi obat. Setelah pendampingan, orang tersebut mulai membaik. "Sekarang dia kurang satu kali pengecekan untuk memastikan kondisinya telah sembuh," terangnya.

Meskipun mendapat pendampingan, ada pula pengidap yang berhenti mengonsumsi obat. Beti mengungkapkan wanita asal Kabupaten Malang itu minta putus mengonsumsi obat karena tidak ingin obat membuat pengidap itu terlihat buruk.

"Memang efek samping mengonsumsi obat TBC adalah kulit menjadi hitam pekat. Karena wanita ini mau menikah, dia tidak ingin efek itu terjadi," urainya.

Bahkan perempuan itu minta suntik pemutih kulit. Beti sempat menyarankan agar perempuan itu tidak suntik pemutih. Namun karena ingin tampil cantik di hari pernikahan, perempuan itu melakukan suntik pemutih. "Dampaknya, kulitnya melepuh. Setelah peristiwa itu, saya mulai sulit bertemu dengan dia," katanya.

Penurunan TBC

Kemnkes menargetkan angka TBC menurun menjadi 65 kasus per 100.000 penduduk dan angka kematian menjadi enam jiwa per 100.000 penduduk. Dinas Kesehatan (Dinkes) mencatat rasio di Kota Malang sebesar 204 per 100.000 penduduk.

Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Kota Malang, Meifta Eti Winindar mengatakan Pemkot telah membentuk tim percepatan untuk penanggulangan TBC. Tim ini terdiri dari Dinkes, Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPUPRKP), Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Malang (Dinsos P3AP2KB), dan Dinas Tenaga Kerja, Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Disnaker PMPTSP).

Menurutnya, penanggulangan TBC menjadi tanggung jawab bersama. Masyarakat dapat membantu pengidap menjaga semangat mengonsumsi obat. Masyarakat juga harus meningkatkan kesadaran memahami TBC. "Pengidap TBC kerap menghadapi tekanan psikis. Kebosanan mengonsumsi obat-obat menjadi pemicunya," kata Meifta.

Konsumsi obat secara rutin adalah kewajiban. Jika terlewatkan, pengidap berpotensi menjadi pasien yang RO. Penanganan pasien RO berbeda dengan pasien yang yang sensitif obat (SO).

Dinkes Kota Malang menyediakan layanan mandiri untuk deteksi dini. 27 rumah sakit dan Puskesmas di Kota Malang bisa menangani TBC. "Obatnya gratis," terang Meifta.

Meifta menegaskan TBC bisa disembuhkan. Meifta berharap tidak ada lagi pasien yang menutupi diri dari status TBC-nya. "Saat menjalani pengobatan, kami berharap pengidap tidak mendapat diskriminatif. Tindakan diskriminasi akan membuat seseorang menyembunyikan statusnya," terangnya.

Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved