Kasus BBm Ilegal di NTT

Ponakan Prabowo Bela Ipda Rudy Soik di Hadapan Kapolda NTT dan Komisi III DPR RI: Saya Kenal Beliau

Ipda Rudy Soik mendapat pembelaan dari keponakan Presiden Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo dalam menghadapi kasus BBM ilegal di NTT.

Editor: iksan fauzi
Tribunnews
Sosok ponakan Presiden Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo membela Ipda Rudy Soik di hadapan Kapolda NTT dan Komisi III DPR RI dalam kasus pemecatan akibat membongkar mafia BBM ilegal di NTT. 

Selain itu, terdapat dugaan empat pelanggaran etik lain.

Yaitu, kasus penyebaran fitnah (menuduh anggota Propam terlibat kasus mafia BBM); meninggalkan wilayah tugas tanpa izin; tidak melaksanakan apel; dan tidak profesional dalam penanganan penyidikan (pemasangan garis polisi barang bukti kasus duaan mafia BBM yang dituduh tidak sesuai prosedur).

Dalam keterangan Polda NTT, Rudy Soik belum menjalankan hukuman atas kasus-kasus ini, yaitu putusan pelanggaran kode etik disertai rekomendasi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH), mutasi demosi selama lima tahun, penundaan pendidikan setahun, pembebasan dari jabatan setahun, penempatan khusus 14 hari, dan teguran-teguran tertulis.

Kepolisian NTT mengatakan masih terdapat waktu 30 hari untuk proses sidang banding.

  • Versi Rudy Soik:

Rudy Soik mendapat pembelaan dari Rahayu Saraswati Djojohadikusumo—keponakan Presiden Prabowo Subianto sekaligus anggota DPR komisi VII—dan Romo Chrisanctus Paschalis.

Keduanya adalah pegiat dari Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

“Saya sudah mengenal beliau bertahun-tahun,” kata Saraswati.

Pertemuan pertama dengan Rudy Soik, kata dia, saat upaya pembebasan pekerja migran asal NTT, Wilfrida Soik dari hukuman mati di Malaysia.

Wilfrida masih kerabat dengan Rudy.

"Prabowo Subianto waktu itu ikut menyelamatkan [Wilfrida] dari Malaysia," katanya di hadapan anggota komisi III DPR.

Lalu, Romo Paschalis membacakan kronologi yang bertolak belakang dari versi polisi.

Dari keterangannya, peristiwa ini dimulai pada 22 Juni 2024 saat Rudy Soik mendapat peringatan dari seorang anggota polisi Polda NTT dengan satu percakapan:

“Jika Abang mengungkap kelangkaan BBM di Kota Kupang maka akan berdampak kepada Krimsus Polda NTT”.

Namun peringatan ini justru direspons dengan perintah kepada jajaran Jatanras Polres Kupang Kota untuk “ratakan BBM ilegal dalam kota” setelah mendapat restu dari dari kapolresta.

25 Juni 2024, Rudy Soik memperoleh laporan seorang residivis “sudah mulai main minyak”.

Modusnya menggunakan kode batang (barcode) nelayan untuk memperoleh BBM.

Laporan juga menyebutkan residivis ini menyetor uang kepada anggota polisi sebesar Rp 4 juta.

Saat hendak bergerak ke tempat penampungan BBM milik residivis itu, Rudy dan 11 anggotanya menepi di restoran MP (Masterpiece).

Ia mengkonfirmasi laporan suap kepada rekan anggota polisi.

Lalu, ia diminta menunggu di restoran itu.

Saat menunggu, 11 anggotanya terlebih dahulu menuju ke lokasi si residivis yang dicurigai menampung BBM.

Di sela waktu itu, Rudy kemudian mengundang dua junior polwan untuk ikut makan di restoran.

Lalu, rekan anggota polisi yang ditunggu datang dan ikut makan.

Saat kembali dari lokasi residivis, 11 anggota Rudy Soik ditahan di parkiran restoran MP oleh seorang anggota Propam NTT.

Mereka tidak diperbolehkan masuk menemui Rudy.

26 Juni 2024, Rudy mengetahui modus residivis menggunakan barcode BBM jenis solar, sekaligus nama-nama anggota polisi yang terlibat menerima setoran.

Sehari kemudian, ia menemui si residivis dan mengkonfirmasi hal itu.

Setelah itu, ia memasang garis polisi pada drum yang diduga digunakan menampung BBM ilegal.

“Ada skenario kriminalisasi terhadap Ipda Rudy Soik secara terstruktur, masif dan sistematis oleh oknum polisi yang mengatasnamakan Polda NTT untuk menghentikan langkahnya dalam mengungkap kejahatan penyelundupan BBM bersubsidi yang diperuntukan bagi rakyat kecil,” kata Romo Pascalis membacakan kesimpulan.

Ia juga menilai peradilan etik terhadap Rudy Soik dan putusan pemecatan “yang prematur” merupakan “skenario kriminalisasi melalui mekanisme peradilan etik yang terkategori tidak adil serta menutup jalannya upaya pemberantasan mafia BBM yang marak di Kota Kupang.”

Dalam kesimpulannya, komisi bidang hukum DPR menilai perlu dilakukan evaluasi terhadap keputusan pemecatan tidak hormat terhadap Rudy Soik sebagai anggota polisi.

“Dan meminta Kapolda NTT mempertimbangkan kembali keputusan tersebut dengan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta memperhatikan aspek keadilan,” kata Wakil Ketua Komisi III, Sari Yuliati.

BBC News Indonesia tak bisa memverifikasi secara independen atas klaim pihak Rudy Soik dan Kapolda NTT, akan tetapi seorang analis kepolisian mengusulkan agar kompolnas turun tangan.

Jika sekedar mendengar dari salah satu pihak baik tentu sangat bias dengan kepentingan-kepentingan mereka, kata Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto.

“Makanya harus ada pihak ketiga yang lebih bisa menengahi dan objektif,” katanya.

Ia mendorong Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) ikut turun tangan karena memiliki kewenangan menerima keluhan dari masyarakat, dan menyampaikan kepada kapolri dan presiden.

“Kompolnas memiliki kewenangan untuk memberikan masukan pada kapolri maupun presiden terkait dengan kebijakan-kebijakan mengenai kasus yang ada di internal kepolisian, termasuk kasus Ipda Rudy Soik ini,” tambah Bambang.

Menanggapi hal ini anggota Kompolnas, Poengky Indarti mengatakan pihaknya akan menyerahkan pada mekanisme yang ada.

Komisi Etik Polisi sudah berjalan, dan Rudy Soik berhak untuk mengajukan keberatan yang diikuti dengan banding atas putusan tersebut.

Poengky mengatakan penyelesain perkara ini akan dilakukan dengan “pendekatan yang mencerminkan ayah dan anak”.

“Ibarat kalau anak nakal ya diberi hukuman, tapi kalau Bapak yang salah ya si anak perlu mengingatkan. Tidak perlu gaduh karena ini masalah internal. Jadi capek yang lihat,” katanya sambil menambahkan seluruh anggota polisi wajib menjaga institusinya yang berwibawa.

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved