Pertamina Oplos Pertamax dan Pertalite

PERTAMINA MASIH NGEYEL Kejagung Jawab Oplosan BBM Fakta, Kualitas Pertalite Dijual Harga Pertamax

Pertamina masih ngeyel, Kejagung jawab oplosan BBM itu fakta, kualitas Pertalite dijual harga Pertamax, arti "blending" yang sesungguhnya.

Dok. Kejaksaan Agung/Youtube KOMPASTV
KASUS KORUPSI PERTAMINA - Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung), Abdul Qohar (KANAN) saat menjelaskan penjemputan paksa 2 tersangka baru korupsi Pertamina di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (26/2/25). Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (KIRI) saat dikawal memasuki mobil tahanan setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (25/2/2025). 

SURYAMALANG.COM, - Pertamina masih ngeyel kalau tidak ada praktik oplosan dalam kasus korupsi yang melibatkan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan.

Penyangkalan yang disampaikan Pertamina ini sempat membuat publik bingung karena seolah-olah menganulir pernyataan Kejaksaan Agung (Kejagung).

Namun belum lama ini Kejagung kembali menegaskan pernyataan mereka soal praktik oplosan Pertamax dan Pertalite yang dilakukan para tersangka benar adanya. 

Bahkan kata "blending" yang diungkap Kejagung juga diartikan lain oleh pihak Pertamina untuk membantah jika tidak ada praktik culas semacam itu. 

Baca juga: Gue Pecat Lu! Bongkar Ahok Maki Riva Siahaan Dirut Pertamina Kini Korupsi, Pegang Rahasia Rapat

Menanggapi hal tersebut, Direktur Penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Kohal menegaskan pihaknya bekerja dengan alat bukti dan memastikan benar ada oplosan Pertamax dengan Pertalite.

"Tetapi penyidik menemukan tidak seperti itu. Ada RON 90 (Pertalite) atau di bawahnya 88 di-blending dengan 92 (Pertamax). Jadi RON dg RON sebagaimana yang sampaikan tadi," kata Abdul Kohal di Kantor Kejagung, Rabu (26/2/2025). 

Abdul Kohal mengatakan, temuan tersebut berdasarkan keterangan saksi yang diperiksa penyidik.

Bahkan, kata Abdul Kohal, bahan bakar minyak (BBM) oplosan tersebut dijual dengan harga Pertamax.

"Jadi hasil penyidikan, tadi saya sampaikan itu. RON 90 atau di bawahnya itu tadi fakta yang ada dari keterangan saksi RON 88 diblendding dengan 92 dan dipasarkan seharga 92," ungkap Abdul Kohal.

Terkait kepastian hal ini, pihaknya akan meminta ahli untuk meneliti.

"Nanti ahli yang meneliti. Tapi fakta-fakta alat bukti yang ada seperti itu. Keterangan saksi menyatakan seperti itu," tegas Abdul Kohal mengutip Kompas.com (grup suryamalang).

Baca juga: ALASAN 9 Tersangka Korupsi Pertamina Bisa Dihukum Mati, Eks KPK Sebut Fakta UU Tipikor: Layak Semua!

Sebelumnya, dalam rapat dengan komisi XII DPR, PT Pertamina Patra Niaga menjelaskan "blending" dengan pengertian lain yakni adanya penambahan zat aditif. 

Pertamina mengakui adanya proses penambahan zat aditif pada BBM jenis Pertamax sebelum didistribusikan ke SPBU.

“Di Patra Niaga, kita terima di terminal itu sudah dalam bentuk RON 90 dan RON 92, tidak ada proses perubahan RON" ujar Pelaksana Tugas Harian (Pth) Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra.

"Tetapi yang ada untuk Pertamax, kita tambahan aditif. Jadi di situ ada proses penambahan aditif dan proses penambahan warna,” sambungnya, Rabu (26/2/2025).

Ega menekankan proses injeksi tersebut adalah proses umum dalam industri minyak.

Tujuannya utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas produk. 

“Meskipun sudah dalam RON 90 maupun RON 92, itu sifatnya masih best fuel, artinya belum ada aditif,” ucap Ega.
 
Namun, Ega memastikan penambahan zat aditif yang dilakukan, bukan berarti terjadi pengoplosan Pertamax dengan Pertalite.

“Ketika kita menambahkan proses blending ini, tujuannya adalah untuk meningkatkan value daripada produk tersebut,” kata Ega.

“Jadi best fuel RON 92 ditambahkan aditif agar ada benefitnya, penambahan benefit untuk performance dari produk-produk ini,” sambungnya.

Baca juga: HARTA KEKAYAAN 6 Bos Pertamina Tersangka Korupsi Rp 968,5 Triliun, Tertinggi Bukan Riva Siahaan

Selain itu, lanjut Ega, setiap produk yang diterima Pertamina telah melalui uji laboratorium guna memastikan kualitas BBM tetap terjaga hingga ke SPBU.

“Setelah kita terima di terminal, kami juga melakukan rutin pengujian kualitas produk. Nah, itu pun kita terus jaga sampai ke SPBU,” ungkap Ega.

Mekanisme Korupsi Komplotan Riva Siahaan

Riva Siahaan Otak Utama tersangka korupsi Pertamina Patra Niaga yang sengaja mengoplos Pertalite jadi Pertamax rugikan negara Rp 193,7 triliun (2023) atau ditaksir Rp 968,5 triliun dalam 5 tahun.

Riva Siahaan bersama tersangka lain, SDS dan AP melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang.

Mereka juga memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.

Riva Siahaan bahkan "menyulap" BBM Pertalite menjadi Pertamax.

Di sisi lain, tersangka YF melakukan mark up kontrak pengiriman pada saat impor minyak mentah dan produk kilang melalui PT Pertamina International Shipping.

Akibatnya mark up kontrak pengiriman yang dilakukan YF, negara harus membayar fee sebesar 13-15 persen yang menguntungkan tersangka MKAN.

Baca juga: Trending Fitra Eri Influencer Otomotif Tolak Ajakan Pertamina, Pertamax Bukan Oplosan: Faktanya Apa?

Lalu tersangka DW bersama GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP agar bisa memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi.

GRJ dan DW juga mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah serta dari tersangka Riva Siahaan untuk produk kilang.

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung), Abdul Qohar menyebut kasus ini bermula ketika pemerintah merencanakan pemenuhan minyak mentah untuk pasar dalam negeri periode 2018 sampai 2023.

PT Pertamina kala itu diwajibkan mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor.

Hal itu tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2018.

Namun, Qohar mengatakan para tersangka justru bersekongkol dan melakukan pengkondisian dalam rapat organisasi hilir (ROH).

"Hasil rapat dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehungga hasil produksi minyak bumi dalam negeri tidak sepenuhnya terserap" kata Qohar mengutip Kompas.tv.

"Pada akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor,"bebernya.

Pada saat yang sama, Qohar menyebut hasil produksi minyak mentah dari dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga dengan sengaja ditolak.

Alasannya, produksi minyak mentah oleh KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harganya masih sesuai harga perkiraan sendiri (HPS).

Tak hanya itu, produksi minyak mentah dari KKKS juga dinilai tidak sesuai spesifikasi.

"Pada saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia untuk dilakukan ekspor," jelas Qohar.

Setelahnya, anak perusahaan Pertamina tersebut mengimpor melakukan impor minyak mentah dan produk kilang.

Dimana, perbedaan harga pembelian minyak bumi impor sangat signifikan dibandingkan dari dalam negeri.

Dalam kegiatan ekspor minyak juga diduga telah terjadi kongkalikong antara para tersangka.

Mereka sudah mengatur harga untuk kepentingan pribadinya masing-masing dan menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun.

"Seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan demut atau broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan," jelas Qohar.

Sementara salah satu yang dilakukan oleh tersangka Riva Siahaan yakni terkait pembelian produk kilang.

Riva diduga melakukan pembelian untuk RON 92, namun nyatanya yang dibeli adalah RON 90 yang diolah kembali atau RON 90/pertalite dibeli dengan seharga RON 92/pertamax dan diblending menjadi pertamax.

Serangkaian perbuatan para tersangka menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang akan dijual ke masyarakat.

Sehingga, pemerintah perlu memberikan kompensasi subsidi yang lebih tinggi bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp 193,7 triliun,"pungkas Qohar.

Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 Juncto Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat tersebut 1 ke-1 KUHP.

Ikuti saluran SURYA MALANG di >>>>> WhatsApp 

Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved