Pajak Kuliner Malam Kota Malang

Revisi Perda 4/2023 tentang Pajak Daerah, Setiap Tahun PAD Kota Malang Bisa Berkurang Rp 4,6 Miliar

Pelaku UMKM kuliner, Didi mengatakan pengenaan pajak dengan acuan omzet adalah sesuatu hal yang tidak masuk akal.

Editor: Zainuddin
SURYAMALANG.COM/Purwanto
ILUSTRASI - Pemilik warung Sambelan Megilan, Titok Nugroho membuat sambal beberapa waktu lalu. Pemkot Malang sedang mengintensifkan pendataan terhadap pelaku usaha kuliner yang beroperasi pada malam hari. 

SURYAMALANG.COM, MALANG - Pemkot Malang sedang mengintensifkan pendataan terhadap pelaku usaha kuliner malam, khususnya restoran dan kafe yang beroperasi di malam hari. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah yang berbasis pada data dan regulasi yang terukur.

Saat ini Pemkot Malang sedang merivisi Perda nomor 4/2023 soal Pajak Daerah. Dalam perda tersebut, pelaku usaha dengan omzet Rp 5 juta per bulan dikenakan pajak. Ketentuan itu diubah dengan nilai omzet sebesar Rp 10 juta.

Pelaku UMKM kuliner, Didi mengatakan pengenaan pajak dengan acuan omzet adalah sesuatu hal yang tidak masuk akal. "Pengenaan pajak dengan acuannya omzet itu salah. Apalagi sekarang ini daya beli masyarakat menurun, malah pajak dan aturan makin ketat serta semakin mengikat," ujar Didi kepada SURYAMALANG.COM, Minggu (25/5).

Pelaku UMKM yang berjualan sate taichan dan es degan durian di Sawojajar ini menyebutkan produk kuliner yang laris dibeli konsumen adalah sate taichan isi 10 yang dijual dengan harga Rp 20.000. Penjualannya pun fluktuatif, kadang laku banyak dan kadang laku sedikit.

"Untuk omzet dalam sebulan mungkin sekitar Rp 6 juta. Meskipun omzetnya terlihat besar, tetapi ini kan diputar lagi untuk operasional usaha seperti membayar pegawai, beli bahan baku, dan kebutuhan lainnya. Makanya sangat lucu bila ada pajak yang mengincar UMKM kelas kaki lima," tambahnya.

Agar usahanya tetap survive, sekarang Didi memilih hanya berjualan lewat online. "Dulu saya jualan offline dan online, tapi sekarang kami fokus ke online. Kalau offline, terkendala sewa tempat yang semakin mahal. Sedangkan kalau online, potongannya besar biar tapi masih bisa ikut promo, dan itu mempengaruhi keuntungan. Makanya usaha dapat terus berjalan," bebernya.

Didi minta seharusnya pemerintah dan para pelaku UMKM aktif duduk bersama. Sehingga pemerintah bisa mendengarkan kebutuhan pelaku UMKM.

"Seharusnya pemerintah mandiri menciptakan usaha bersama melibatkan UMKM dan bekerja sama dengan ahli ekonomi dan pemasaran, dan juga perlu ada tim yang memudahkan pendampingan ke UMKM. Saya melihat pemerintah pasif, padahal seharusnya duduk bersama dan saling mengerti. Bukannya tidak mau bayar pajak, tetapi sekarang kami sedang berjuang di tengah ekonomi seperti ini," terangnya.

Pelaku UMKM kuliner lain, Akbar juga menilai pemberlakuan pajak yang menyasal UMKM sangat memberatkan. "Apalagi kalau acuannya adalah omzet. Padahal, omzet kan diputar lagi untuk jualan. Kalau dikenakan pajak, terus modal untuk menggaji pegawai dan bahan-bahan masakan dari mana?" kata Akbar.

Pemilik usaha ayam geprek di Kecamatan Lowokwaru ini berharap pemerintah duduk bersama untuk mendengarkan keluhan UMKM di tengah situasi ekonomi dan daya beli masyarakat yang menurun.

"Seharusnya pemerintah memberi cara bagaimana UMKM bisa berkembang dan bertahan. Memang sekarang ada beberapa pelatihan, tetapi tidak maksimal dan hanya sekedar formalitas. Seharusnya pemerintah menggandeng dan melibatkan UMKM untuk dibina, bukan dibinasakan," tambahnya.

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang, Handi Priyanto mengakui Pemkot Malang sedang berupaya merevisi Perda tentang Pajak Daerah. Menurutnya, kebijakan tersebut bukan ditujukan kepada pedagang kaki lima (PKL) atau pelaku sektor informal.

"Yang kami data itu restoran dan resto kafe. Yang dimaksud kuliner malam itu adalah sekarang banyak resto kafe yang buka pada malam hari. Siang tutup, dan buka pada malam hari. Jadi, kuliner malam itu bukan berarti PKL atau sektor informal di malam hari," kata Handi, Sabtu (24/5).

Handi menegaskan aturan tersebut bukan berarti Pemkot sedang menyasar PKL. Menurutnya, perubahan Perda nomor 4/2023 itu justru untuk mendorong pertumbuhan UMKM di Kota Malang.

"Dalam perubahan Perda ini, kebijakan batas minimal diubah dari Rp 5 juta per bulan omzet menjadi Rp 10 juta per bulan," kata Handi.

Halaman
12
Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved