Jombang
Museum Potehi Gudo, 'Ruang Waktu' Kisah Wayang Tionghoa Menyatu dengan Jiwa Jawa di Kota Santri
Kesenian Potehi sudah tumbuh di Gudo, Jombang sejak tahun 1920-an, dibawa oleh para perantau dari Tiongkok Selatan.
Ringkasan Berita:
- Museum Potehi Gudo menjadi tempat di mana warisan Tionghoa dan kearifan lokal Jawa berpadu indah dalam harmoni yang langka.
- Museum Potehi Gudo berada di kompleks Klenteng Hong San Kiong, tepatnya di Desa Gudo, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang
- Toni Harsono, pendiri museum sekaligus Ketua Klenteng Hong San Kiong merupakan generasi ketiga dari keluarga dalang wayang Potehi
Laporan : Anggit Pujie Widodo.
SURYAMALANG.COM, JOMBANG - Museum Potehi Gudo di Desa Gudo, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang menjadi tempat berpadunya warisan Tionghoa dan kearifan lokal Jawa.
Berada di kompleks Klenteng Hong San Kiong, museum ini bukan sekadar ruang pamer boneka wayang.
Ia adalah ruang waktu yang mengajak pengunjung menelusuri jejak sejarah, kisah leluhur, dan nilai kebersamaan lintas budaya yang telah bersemi sejak hampir seabad silam.
Baca juga: Bocah Jawa Islam Pelestari Wayang Potehi, Muhammad Atahiya Jadi Dalang Umur 9 Tahun
Begitu melangkah ke dalam museum, pengunjung disambut oleh deretan boneka berwarna mencolok.
Wajah-wajah mungil dengan riasan tegas itu seakan hidup di balik kaca, menatap balik seolah siap bercerita.
Setiap boneka membawa kisah dari legenda klasik Tiongkok hingga cerita-cerita modern yang kini dikemas lebih segar untuk generasi muda.
“Potehi ini berasal dari kata ‘Po’ artinya kain, ‘Te’ berarti kantong, dan ‘Hi’ bermakna pertunjukan. Jadi maknanya adalah wayang kantong,” ucap Toni Harsono, pendiri museum sekaligus Ketua Klenteng Hong San Kiong, Sabtu (1/11/2025).
Menurut Toni, kesenian Potehi sudah tumbuh di Gudo sejak tahun 1920-an, dibawa oleh para perantau dari Tiongkok Selatan.
Ia sendiri merupakan generasi ketiga dari keluarga dalang yang menjaga warisan budaya ini.
“Kakek saya datang dari Cwancu dan membawa Potehi ke Gudo. Sejak kecil saya sudah hidup di klenteng dan jatuh cinta dengan wayang ini,” ujarnya.
Seni yang Sempat Tertidur
Perjalanan Potehi tidak selalu mulus. Toni bercerita, sempat ada masa ketika seni ini hampir punah, terutama saat Inpres Nomor 14 Tahun 1967 diberlakukan membatasi ekspresi budaya Tionghoa di Indonesia.
Namun, hubungan baik masyarakat Gudo dengan komunitas klenteng membuat seni ini tetap bertahan, meski dalam ruang yang terbatas.
“Waktu itu hanya bisa dimainkan secara tertutup. Tapi masyarakat sini menghargai, jadi kami masih bisa melanjutkan secara sederhana,” ungkapnya.
Kebangkitan kembali terjadi pada era Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Ketika pelarangan terhadap budaya Tionghoa dicabut, Potehi pun kembali tampil bebas. Sejak itu, pertunjukan boneka ini sering digelar di berbagai tempat, bahkan di lembaga pendidikan.
Dari Klenteng Gudo ke Panggung Dunia
Kehidupan Potehi di Gudo kini justru semakin bersinar. Tak hanya tampil di berbagai daerah di Indonesia, kelompok ini juga pernah diundang ke panggung internasional, seperti Jepang, Taiwan, dan Malaysia.
Dalam satu pertunjukan, Potehi dimainkan oleh lima orang, dua dalang dan tiga pengiring musik. Alunan tambur, gesekan alat musik tradisional, dan denting simbal berpadu menciptakan suasana dramatis yang khas.
Ceritanya pun bervariasi tentang kepahlawanan, cinta, hingga nilai moral yang universal.
“Sekarang banyak cerita kami sesuaikan dengan kondisi masa kini. Ada juga kisah lokal yang dibawa ke panggung luar negeri. Kami pernah tampil di UNESCO, membawa cerita rakyat Indonesia,” kata Toni.
Baca juga: Kolektor dan Pelestari Wayang Potehi di Jombang, Kakeknya Dalang dari Hokkian, Tiongkok
Warisan yang Butuh Pelukan Bangsa
Bagi Toni, Potehi bukan sekadar peninggalan etnis Tionghoa, melainkan bagian dari kebudayaan Indonesia yang perlu dirawat bersama.
Ia berharap pemerintah memberi perhatian lebih agar seni ini bisa terus lestari dan dikenal generasi muda.
Museum Potehi Gudo menjadi saksi bagaimana identitas Tionghoa dan Jawa berpadu tanpa batas.
Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, boneka-boneka kecil itu masih menari membisikkan pesan tentang keberagaman, cinta budaya, dan kekuatan untuk tetap hidup di antara perubahan zaman.
“Wayang Potehi ini sudah ada di Indonesia sejak abad ke-17. Sudah menjadi bagian dari sejarah kita. Harapan saya, jangan lagi dianggap budaya asing. Ini sudah jadi milik bangsa,” harap Toni memungkasi.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/suryamalang/foto/bank/originals/Museum-Potehi-Gudo-Desa-Gudo-Kecamatan-Gudo-Kabupaten-Jombang.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.