Indonesia Creative Cities Conference
Industri Komik di Malang Unggul di Tema, tapi Kurang di SDM
"Pemerintah mendukung ekonomi kreatif, yang salah satu di dalamnya industri komik masuk. Dengan pemfasilitasan para komikus untuk unjuk gigi,"
Penulis: Aflahul Abidin | Editor: fatkhulalami
SURYAMALANG.COM, KLOJEN - Industri komik di Kota Malang menghadapi beberapa tantangan. Salah satunya, sumber daya manusia (SDM) yang terbatas. Padahal, industri ini memiliki potensi kekayaan intelektual yang cukup lumayan.
Itu bisa dilihat dari banyaknya ide-ide yang bisa dihimpun dari budaya asli Malang Raya dan foklor (cerita rakyat) yang banyak terdapat di sana.
Wakil Ketua Komunitas Perakit Komik Malang, Eryk Tristiono (24), mengaku hal itu. Menurutnya, menghimpun para komikus alias pembuat komik di Kota Malang untuk berkumpul dan berdiskusi ihwal komik cukup sulit. Sejak berdiri bertama kali 2014, komunitas tersebut hanya bisa menghimpun beberapa orang saja untuk berkumpul.
Saat ini, jumlah anggota yang aktif bahkan tak lebih dari hitungan jari. Hanya delapan orang. Padahal, keikutsertaan pada komunitas bisa memacu produktivitas dan eksistensi.
"Kalau bicara sama orang lain tentang komik, banyak yang mengira kami adalah komunitas yang mewadahi para komikus (sebutan untuk para pelawak tunggal)," kata pria yang karab di disapa Eriyono itu.
Eksistensi dan produktifitas yang ia maksud dibuktikan dengan pendorongan yang dilakukan anggota komunitas pada anggota lain untuk berkreasi. Hingga saat ini, delapan anggota yang aktif itu sudah menyusun total sekitar 20 komik.
Dua di antaranya adalah komik kompilasi antar anggota. Kebanyakan jenis komik yang disusun anggota komunitas itu adalah komik indie yang dicetak secara mandiri. Tema yang diangkat sebagian berkutat tentang cerita foklor. Misalnya, cerita tentang topeng malangan.
Sebagai pembuat komik indie, pasar komunitas itu di Kota Malang memang tak luas. Dengan karya yang identik dengan cerita-cerita nonkonvensional, mereka mencoba menyasar pangsa penggemar komik kelas menengah.
Komik-komik konvensional seperti yang banyak ditemui di toko buku bukan sengaja dihindari. Anggota komunitas, kata dia, memang hanya ingin mewujudkan ide yang tertuang dalam pikiran tanpa mengutamakan selera pasar. Tapi, ia yakin, selera pasar bisa dibentuk dengan karya yang berkualitas.
Untuk pemasarannya, Eriyono mengaku anggota komunitas lebih banyak memanfaatkan media elektronik. Seperti menjual via internet. Selain itu, media konvensional juga dibuka dengan cara ikut serta dalam pameran-pameran yang mengangkat topik kreatif, seperti dalam pagelaran HelloFest, Minggu (3/4/2016). Meski begitu, tak dapat dipungkiri juga, komikus asal Malang pun sudah ada yang diperhitungkan dikancah internasional.
"Penciptaan pasar bukan masalah kualitas juga, sebenarnya. Salah satu kendala lain pengembangan industri ini Kota Malang juga berasal dari managerial komikus yang masih kurang," tambahnya.
Selama ini, komikus di Kota Malang amat jarang yang aktif sepenuhnya di bidang tersebut. Mereka kebanyakan harus membagi keseharian mereka dengan bekerja, kuliah, atau sekolah.
Ia optimistis, industri komik di Kota Malang bisa tumbuh pesat. Masalah ketersediaan SDM bisa diatasi dengan menghimpun mereka yang berbakat dan berminat melalui kampus-kampus.
Jamak diketahui, Kota Malang adalah satu dari tak banyak kota yang memiliki banyak kampus. Hal itu secara otomatis berpengaruh pada tingginya jumlah kaum muda kreatif yang tinggal di kota ini. Baik yang asli Malang maupun luar Malang.
"Apalagi, pemerintah mendukung ekonomi kreatif, yang salah satu di dalamnya industri komik masuk. Dengan pemfasilitasan para komikus untuk unjuk gigi, pemerintah berperan besar membesarkan dan megembangkan industri komik," tuturnya.