Malang Raya
Dulu Sampai Belasan Perajin Tempe di Desa Penarukan, Malang, Kini Hanya Tersisa 3 Perajin
Dulu banyak perajin tempe di Desa Panarukan, Kabupaten Malang. Seiring perkembangan, jumlah perajin tempe kian menyusut.
Penulis: Mohammad Erwin | Editor: Zainuddin
SURYAMALANG.COM, KEPANJEN - Tangan Satuni (57) tetap cekatan merangkai butir demi butir kedelai yang akan dicetak menjadi tempe di Desa Panarukan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang.
Perajin tempe tradisional yang sudah memulai usaha sejak tahun 1977 itu masih konsisten jalankan usahanya sampai sekarang.
Menurutnya, dulu banyak perajin tempe di Desa Panarukan.
Seiring perkembangan, jumlah pengrajin tempe kian menyusut.
“Di sekitar rumah saya di RT 5 RW 5, dulu ada 15 perajin tempe. Sekarang tinggal tiga perajin yang masih bertahan, termasuk saya,” terang Satuni kepada SURYAMALANG.COM, Senin (25/2/2019).
Satuni menyadari memproduksi tempe memang tak diminati oleh generasi muda.
Proses yang panjang dan butuh ketelatenan menjadi alasan regenerasi perajin tempe tradisional mandek.
“Anak-anak tidak minat meneruskan usaha keluarga (tempe). Katanya berat.”
“Banyak alasan, memang prosesnya (buat tempe) panjang. Tapi sebenarnya ya tidak sesusah itu,” ujar Satuni.
Satuni memproduksi tempe bersama suaminya, Wakino (59).
Satuni memilah kedelai untuk didiamkan didalam panci besar berisi air mulai pukul 05.00 WIB.
Kedelai itu didiamkan di dalam air selama semalam.
Sekali produksi, Satuni menghabiskan 20 kilogram (Kg) kedelai untuk tempe dan 5 Kg kacang untuk tempe kacang.
Ibu dua anak itu tekun memproduksi tempa di dapurnya yang sangat tradisional.
Semua proses produksi dilakukannya dengan manual.
Tungku pembakaran pun masih menggunakan kayu untuk mengurangi biaya produksi.
“Didiamkan di air agar kedelainya mengembang, tekturnya tidak gampang hancur, dan memisahkan kulitnya,” terang Satuni.
Selain itu masih ada proses perebusan, sampai pergantian ari selama dua kali.
Setelah itu, kedelai yang sudah direbus, dihancurkan menjadi butiran kecil-kecil.
“Setelah itu semua kedelai dan kacang digelar untuk dibentuk kemudian dikasih ragi.”
“Baru setelahnya dibiarkan selama dua hari. Jadi untuk proses produksi tempe itu memakan waktu empat hari,” tuturnya.
Satuni menjual tempenya per potong dengan harga Rp 2.000.
Sekali produksi, dia bisa menjual seratus potong tempe.
Dia cukup menjual di sekitar Desa Panarukan dan di warung yang sudah berlangganan di dekat Pasar Kepanjen.
Satuni kini masih lega karena harga kedelai masih stabil. Namun ketika harga bahan baku kedelai naik, dia terpaksa memutar otak.
“Kalau saat naik, itu pusing. Saya terpaksa memperkecil ukuran tempe,” tuturnya.