Kabar Surabaya

FPI Tolak Acara Partai Rakyat Demokratik (PRD), Singgung Wawali Surabaya Jadi Pengisi Diskusi

Front Pembela Islam (FPI) Surabaya menentang keras rencana acara perayaan hari ulang tahun Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Surabaya.

Editor: yuli
Sofyan Arif Candra Sakti
Wali Laskar FPI Mawil Surabaya, Agus Fahrudin 

FPI pun memuji aparat kepolisian yang tanggap dan sigap segera mengamankan lokasi acara dan tidak memberikan izin kegiatan perayaan hari ulang tahun Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Surabaya.

SURYAMALANG.COM, SURABAYA - Front Pembela Islam (FPI) Surabaya menentang keras rencana acara perayaan hari ulang tahun Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Surabaya, Senin (22/7/2019).

Wali Laskar FPI Mawil Surabaya, Agus Fahrudin, mengatakan, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Tahun 1997 sudah jelas bahwa PRD beserta sayapnya ditetapkan sebagai partai dan ormas yang terlarang.

"Artinya selama peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut belum dicabut sampai kapan pun kalau mereka mengadakan kegiatan ya terlarang. Kecuali mereka menggunakan nama lain ya itu lain cerita," ucap Agus, Senin (22/7/2019).

Menurut Agus, sebagai warga negara yang taat hukum sudah sewajarnya FPI menentang apapun bentuk acara PRD.

"Intinya sebagai warga negara yang baik ayo kita taat hukum," ucap Agus.

Dalam kesempatan itu, Agus juga menyayangkan dengan tercantumnya nama Wakil Wali Kota Surabaya, Whisnu Sakti Buana sebagai salah satu pengisi diskusi.

"Wakil Wali Kota Surabaya seharusnya lebih tahu hukum," tambahnya.

FPI pun memuji aparat kepolisian yang tanggap dan sigap segera mengamankan lokasi acara dan tidak memberikan izin kegiatan tersebut. Sofyan Arif Candra Sakti

Samirin Menjawab: Azas Partai Rakyat Demokratik (PRD) adalah Pancasila, Bukan Komunis

FPI Datangi Lokasi HUT Partai Rakyat Demokratik (PRD), Polisi Imbau Rumah Makan Batalkan Acara

Logo Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Logo Partai Rakyat Demokratik (PRD) (wikipedia)

RIWAYAT PRD

Berdasarkan rangkuman dari Wikipedia, PRD sebelumnya bernama Persatuan Rakyat Demokratik yang kemudian mengalami perpecahan.

Organisasi ini menyatakan diri sebagai partai pada pada April 1996 dengan diprakarsai oleh sejumlah intelektual muda, termasuk ketua pertamanya, Budiman Sudjatmiko, kini politisi PDI Perjuangan.

Banyak dari anggotanya adalah intelektual dan aktivis muda, khususnya mahasiswa.

Sebelum terjadinya Peristiwa 27 Juli 1996, di mana PRD dikambing-hitamkan sebagai dalangnya, Partai ini mendapat dukungan utama dari salah satu organisasi onderbouwnya, yakni Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).

Persatuan Rakyat Demokratik adalah organisasi payung dari organisasi-organisasi massa lintas sektoral:

Sektor Buruh - Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), yang kemudian menjadi Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI). Tokoh-tokohnya antara lain: Dita Indah Sari, Suyat (hilang sejak 1998 hingga sekarang), Bimo Petrus (hlang sejak tahun 1998 hingga sekarang);

Sektor Budaya dan Seniman - Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKKER). Tokoh-tokohnya antara lain: Rahardja Waluyo Djati, Widji Thukul (hilang sejak tahun 1998 hingga sekarang);

Sektor Tani - Serikat Tani Nasional (STN). Tokoh-tokohnya antara lain: Sereida Tambunan, Mashuri, Linda Chrystanti, Herman Hendrawan (hilang sejak tahun 1998 hingga sekarang); dan

Sektor Mahasiswa - Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Tokoh-tokohnya antara lain: Munif Laredo, Andi Arief, Garda Sembiring.

Organisasi payung ini kemudian mentransformasikan diri dari organisasi massa menjadi Partai Politik dengan nama Partai Rakyat Demokratik yang dideklarasikan pada 22 Juli 1996.

Sejak awal pendirian, PRD sudah menunjukkan sikap oposisi terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru.

Manifesto 22 Juli 1996 yang dideklarasikan partai ini pada tanggal tersebut, adalah deklarasi yang secara tajam menyerang dan mengkritik kondisi politik dan kondisi sosial-ekonomi di bawah pemerintahan Presiden Soeharto.

Kondisi politik yang dikritik adalah jauhnya model pemerintahan Orde Baru dari sistem yang demokratis.

Sementara kondisi sosial-ekonomi yang dikritik adalah kesenjangan sosial akibat kebijakan berorientasi pertumbuhan, dengan melupakan pemerataan dan distribusi yang adil.

Pokok-pokok penting dari Manifesto 22 Juli 1996, adalah:

- menuntut pencabutan 5 Paket UU Politik tahun 1985 yang memasung hak berpolitik dan berorganisasi rakyat sipil.

- menuntut penghapusan penerapan Dwi Fungsi ABRI yang memberikan hak istimewa kepada militer untuk memasuki ranah sosial politik dan sosial ekonomi.

- mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Maubere (d/h Timor Timur; s/k Timor Leste).

- mengupayakan pembangunan front perjuangan dengan beragam eksponen perjuangan dalam merebut DEMOKRASI dan mengembalikan KEDAULATAN RAKYAT.

- membuat platform bersama-sama eksponen gerakan, khususnya Komite Independen Pemantau Pemilu untuk mengawal Pemilu 1997 dan menelanjangi praktik kecurangan Orde Baru yang selalu dilakukan setiap penyelenggaraan Pemilu.

- mengorganisir rakyat untuk semakin terlibat aktif dalam menentang dan melawan kediktatoran rejim militer Orde Baru.

Di samping itu, Manifesto PRD juga menyinggung-nyinggung masalah korupsi dan kolusi yang menjamur di birokrasi pemerintahan.

Di usia awalnya ini pula, partai ini mulai membela dan mengadvokasi petani-petani pedesaan dalam membela hak atas tanah. Urusan ini, secara umum ditangani oleh Serikat Tani Nasional (STN).

Sementara untuk urusan perburuhan melalui Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI). Mobilisasi massa untuk demonstrasi, yang saat Orde Baru dilarang, pun tak jarang terjadi.

PRD menyelenggarakan berbagai demonstrasi baik yang sifatnya dalam lingkup lokal maupun dilakukan secara serentak di berbagai daerah, sektoral dan multi-sektoral. Kadang kala PRD dalam kegiatannya PRD juga bekerjasama dengan aktivis dari organisasi lain.

Sejak 1997, karena popularitas PRD yang semakin meningkat, dan juga kondisi sosial-ekonomi serta politik yang mulai tidak stabil, pemerintah Orde Baru mulai melakukan penindasan terhadap berbagai gerakan politis yang dianggap subversif, apalagi yang dianggap kiri, dan komunis, termasuk salah satu korbannya adalah PRD.

Reaksi pemerintah Orde Baru

Setelah Peristiwa 27 Juli 1996, pimpinan-pimpinan utama PRD ditangkap dan dipenjarakan. Anggota PRD dan pihak-pihak yang dianggap memiliki kaitan dengan PRD menerima teror dan tekanan.

Tak sedikit dari mereka yang ditahan tanpa alasan yang jelas di markas lembaga ekstrayudisial, Bakorstanasda (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah). Menjelang runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998, 1 orang anggotanya terbunuh, beberapa mengalami penculikan dan hingga sekarang, sebagian diantaranya, termasuk penyair Wiji Thukul, tidak diketahui nasibnya (menjadi bagian dari sekian banyak "Orang Hilang").

Di samping mengadvokasi dan mengorganisasi petani dan buruh, salah satu tindakan PRD yang membuat pemerintah semakin kebakaran jenggot adalah pernyataan dukungan PRD atas hak menentukan nasib sendiri (self determination) di Timor Timur.

Budiman Sudjatmiko sempat berada dalam satu penjara di LP Cipinang dengan Xanana Gusmao, pemimpin gerakan pro-kemerdekaan CNRM (Conselho Nacional de Resistência Maubere) Timor Timur yang kelak menjadi Timor Leste atau Timor Lorosa'e.

Peran PRD dalam Reformasi

Pada akhir 1997 dan awal 1998, peran PRD dalam gelombang Reformasi dan dalam menumbangkan rezim Soeharto juga signifikan. Meski terpaksa berjuang secara bawah tanah, anggotanya membentuk atau menggabungkan diri dalam berbagai komite rakyat dan mahasiswa.

Di tengah krisis ekonomi, gelombang tuntutan demokrasi serta terjadinya Peristiwa Mei 1998, Presiden Suharto kemudian mundur dan menyerahkan tampuk pemerintahan kepada wakilnya B.J. Habibie.

Pada pemilihan umum (pemilu) pertama pasca-Reformasi 1998, PRD yang sebelumnya dinyatakan terlarang oleh Orde Baru, diakui dan turut serta menjadi peserta Pemilu 1999.

PRD menjadi organisasi peserta pemilu dengan pimpinan yang masih di penjara.

Meski ditinggal sebagian besar tokoh pendiri dan pimpinan awal, hingga sekarang, PRD masih aktif dalam menggalang aksi protes dan demonstrasi mengkritik berbagai kebijakan yang dianggap neoliberal.

PRD juga gencar mengkampanyekan kedaulatan nasional dan Gerakan Nasional Pasal 33 (GNP33) UUD 1945. PRD kemudian dipimpin Agus 'Jabo' Priyono, anggota pendiri dan salah satu pemimpin utama PRD pasca tertangkapnya Budiman Sudjatmiko cs pada tahun 1996.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved