Tempo Doeloe
Sejarah 'Dolanan Bocah', Ragam Bentuk dan Fungsinya Pada Masa Jawa Kuno
Sejarah 'Dolanan Bocah', Ragam Bentuk dan Fungsinya Pada Masa Jawa Kuno. Oleh : M Dwi Cahyono, dosen Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Malang (UM).
Perihal permainan dan pertandingan juga diberitakan dalam kakawin Sutasoma (127.13). Berita lainnya didapatkan dalam Kidung Sri Tanjung (1.7), yang ceritakan mengenai anak-anak yang memainkan cikal, yaitu suatu permainan yang menggunakan buah pohon cikal (Entada pursaetha, Rumph. Vpl.4) yang berbentuk bulat ceper (Zoetmulder, 1995:174).
Menurut Prijono (138:157), konon permainan ini terdapat di Jawa Tengah dengan nama "bengkat". Pada bagian lain dari susastra ini (5.58) dikabarkan adanya anak-anak yang memainkan anepa[h], yang sayang sekali tidak disertai keterangan mengenai bentuk permainannya.
Masih di dalam Kidung Sri Tanjung (5.58), terdapat permainan lain yang dinamai dengan "agundu", yakni permainan dengan menggunakan buah bulat pohon bendo, yang dalam konteks permainan ini buah gundu dimasukkan ke dalam lobang, seperti pada permainan butir kelerang (neker) yang dinamai dengan "wok-wokan".
Pada Kidung Sunda (2.85) sebutannya adalah "gandu", yang ketika dimainkan gandu dalam keadaan berputar. Dahulu tatkala kelereng belum lazim dipergunakan, bola bundar itu bisa berupa biji klerak.
Ada tiga macan permainan gundu, yaitu (a) memasukkan gundu ke dalam lobang kecil pada permukaan tanah (wok-wokan), (2) arahkan biji gundu "gaco" ke deretan gundu lian (cirak), atau (3) tembakkan secara tepat ke buah gundu lainnya pada jarak tertentu (tujon).
Mainan yang demikian masuk dalam kategori permainan untuk bertanding. Selain itu, Kidung Sri Tanjung menyebutkan adanya "permainan api" (Prijono 1938, I : 29-30).
Kidung Panji Anggraeni (Poerbatjaraka, 1969:10) menginformasikan adanya permainan "kecek" yang menggunakan uang logam sen (kece) oleh Semar bersama anak-anak. Permainan dengan memakai uang logam (koin) yang demikian masih dikenal sekarang, dengan cara melempar uang logam ke atas dan menebak gambar apa yang ada di sisi atas ketika uang itu jatuh di tanah.
Permainan lain, yang disebut "bubungkul", diberitakan dalan Kidung Sunda (3.50). Menurut C. C. Berg (127:26) adalah semacam permainan anggar dengan memakai tongkat oleh sejumlah anak laki- laki dalam posisi membentuk pagar melingkar.
Selain itu, susastra ini menyebut permainan "apelengkungan", yang oleh Berg (127:126) diterjemah dengan permainan tusuk-tusukan (steel speed), atau kemungkinan lain berbentuk kedua tangan dua pemain dipertemukan dalam formasi yang melengkung dan beberapa pemain lainnya masuk melewatinya -- seperti p
permainan "jamuran" sekarang.
Ada juga permainan yang dinamai "walangan". Kata "walang" adalah nama binatang. Permainan dengan menggunakan media binatang walang dilakukan dengan meminta gerakan walang, misalnya pada walang kadung.
Pemain menyebut istilah tertentu, lalu meminta agar walang membuat gerakan yang sesuai dengan kata yang diucap itu. Apabila benar demikian, maka permainan ini adalah salah satu di antara tidak sedikit permainan yang menjadikan binatang -- utamanya insekta, sebagai binatang mainan, seperti jangkrik, kwangwung, kupu-kupu, capung, dsb.
Anak-anak pada masa lalu gemar memainkan binatang, baik untuk jenis permainan untuk bermain atau permainan untuk bertanding.
Permainan lainnya kategori permainan untuk bertanding adalah "susudukan", yang secara harafiah berarti tusuk-tusukan, yakni permainan perkelahian pura-pura menggunakan tiruan keris atau tombak.
Dalam bentuk yang lain, permainan ini nengingatkan pada permainan tombak atau lembing tumpul di dalam gladi (olah) keprajuritan, yang dinamai "watangan" (Kidung Ranggalawe 4.1-3). Kadang ditambah istilah "parampogan" menjadi kata gabung "watang parampogan", yakni suatu adu tanding, dimana seekor harimau dibunuh oleh sejumlah orang menggunakan tombak.
Permainan untuk bertanding ini juga diinformasikan dalam kitab "Ying-yai Sheng-lan" karya Ma Juan tahun 1416, mengenai pertandingan yang dinumpainya di Jawa. Pada acara ini, seekor harimau dibunuh beramai-ramai menggunakan banbu runcing, dengan musik pengiring genderang.
