Bahaya Awan Cumulonimbus Bagi Dunia Penerbangan, Diduga Jadi Penyebab AirAsia hingga Garuda Jatuh
Ini bahaya awan cumulonimbus bagi dunia penerbangan, diduga penyebab AirAsia hingga Garuda Indonesia jatuh, bagaimana dengan Sriwijaya?
Penulis: Sarah Elnyora | Editor: Adrianus Adhi
Sebagai informasi, ELT merupakan alat penentu lokasi pesawat yang termasuk dalam nagian dari standar peralatan pada pesawat.
ELT bisa dinyalakan langsung oleh pilot atau bisa hidup apabila pesawat membentur benda keras.
"Kan mestinya ada pancaran emergency location transmitter atau ELT, itu tidak ada," kata Bagus seperti dikutip dari siaran Metro TV, Sabtu oleh Kompas.com artikel 'Pesawat Jatuh yang Tidak Pancarkan Sinyal ELT, Sriwijaya Air SJ 182 hingga Air Asia QZ 8501'.
Bagus menjelaskan, Basarnas kemudian berkoordinasi dengan Australia seputar sinyal ELT dari pesawat Sriwijaya Air SJ 182.
"Kita sudah koordinasi dengan Australia, Ausralia juga tidak menangkap (sinyal ELT). Jadi, kita hanya mendapatkan informasi dari AirNav dan radarnya Basarnas sendiri pada menit berapa dia (pesawat Sriwijaya Air) hilang dari radar," ungkap Bagus.
Sedangkan, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menilai wajar pesawat B737-500 milik Sriwijaya Air tak pancarkan ELT ketika hilang kontak.
Sebab, pesawat tersebut diduga membentur benda keras dan jatuh di perairan Kepulauan Seribu.
Dugaan ini berdasarkan temuan serpihan pesawat di lokasi kejadian.
"Jadi, ELT tidak didesain untuk impact yang besar. Jadi, kalau teman-teman di sana menemukan serpihan, berarti pesawat impact-nya cukup kuat. Dan kemungkinan besar ELT-nya enggak sukses," kata Kepala KNKT Soerjanto Tjahjono, kepada Kompas.com, di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Tangerang.
Dugaan lainnya adalah ELT di pesawat tersebut sudah rusak sehingga tidak menyala.
"ELT yang dipasang di pesawat itu kalau tenggelam ke air pasti tidak akan manjat. ELT-nya kemungkinan rusak," kata dia.
Sementara itu, hasil analisis Badan Metereologi, Klimatologi dan geofisika (BMKG) menyatakan, saat ini banyak potensi terbentuknya awan yang bisa membahayakan penerbangan di sejumlah wilayah di Indonesia.
"Berdasarkan analisis dan prediksi BMKG yang disampaikan Desember lalu dan selalu diperbarui hingga Januari 2021, secara umum masih berpotensi tinggi terjadinya pembentukan awan Cumulonimbus yang dapat membahayakan penerbangan," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati lewat keterangan tertulis, Jakarta, Ahad, sebagaimana dilansir dari ANTARA.com.
Sedangkan deputi bidang Meteorologi Guswanto menjelaskan, awan Cumulonimbus ini berpotensi ada terutama di Wilayah Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
"BMKG terus mengimbau masyarakat dan semua pihak yang terkait dengan sektor transportasi, untuk selalu meningkatkan kewaspadaan terhadap cuaca signifikan atau potensi cuaca ekstrem yang masih dapat terjadi di puncak musim hujan ini, demi mewujudkan keselamatan dalam layanan penerbangan," kata Guswanto.
BMKG sejak Oktober telah memprediksikan bahwa Puncak Musim Hujan akan terjadi pada Januari dan Februari 2021.
Di mana saat puncak musim hujan terjadi maka potensi cuaca ekstrem di sejumlah wilayah di Indonesia juga akan meningkat.
Guswanto mengatakan, untuk tujuh hari ke depan diprediksikan potensi cuaca ekstrem berpeluang terjadi di sejumlah wilayah.
Cuaca tersebut berpotensi menimbulkan dampak bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, hujan lebat disertai angin kencang dan kilat atau petir, serta gelombang tinggi yang membahayakan pelayaran dan penerbangan.
Oleh sebab itu, kondisi cuaca ektrem ini bisa sangat berpengaruh terhadap keselamatan penerbangan.
Berdasarkan analisi BMKG, Guswanto melanjutkan, saat ini secara umum masih berpotensi tinggi terjadinya pembentukan awan-awan yang bisa membahayakan tersebut.
"Oleh karena itu BMKG terus mengimbau masyarakat dan semua pihak yang terkait dengan sektor transportasi, untuk selalu meningkatkan kewaspadaannya terhadap cuaca signifikan atau potensi cuaca ekstrem yang masih dapat terjadi di puncak musim hujan, demi mewujudkan keselamatan dalam layanan penerbangan," kata Guswanto dikutip dari Kompas.com 'Waspadai Gelombang Tinggi di Beberapa Perairan Ini Tiga Hari Mendatang'.