TRAGEDI AREMA VS PERSEBAYA

Sidang Tragedi Kanjuruhan Penuh Kejanggalan, Koalisi Masyarakat Sipil Sampaikan Pernyataan Sikap

LBH Pos Malang, LPBH-NU Kota Malang, KontraS, LBH Surabaya, dan YLBHI menyebut sidang Tragedi Kanjuruhan penuh kejanggalan

Penulis: Kukuh Kurniawan | Editor: rahadian bagus priambodo
suryamalang.com/kukuh
Koalisi Masyarakat Sipil saat menunjukkan empat pernyataan sikap 

SURYAMALANG.COM | MALANG - Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH Pos Malang, LPBH-NU Kota Malang, KontraS, LBH Surabaya, dan YLBHI menyebut bahwa jalannya sidang Tragedi Kanjuruhan penuh dengan kejanggalan.

Koordinator LBH Pos Malang, Daniel Siagian mengatakan, bahwa Koalisi Masyarakat Sipil telah memantau jalannya persidangan Tragedi Kanjuruhan sejak tanggal 20 Januari 2023 hingga 23 Februari 2023.

"Selama persidangan berlangsung, kami menemukan beberapa fakta kejanggalan secara umum," ujarnya dalam konferensi pers yang digelar di Kantor PC-NU Kota Malang, Senin (27/2/2023).

Dirinya mengungkapkan, ada delapan poin fakta kejanggalan sidang Tragedi Kanjuruhan. Yang pertama, dibatasinya media pers dalam melakukan siaran langsung (live streaming) selama proses persidangan berjalan.

Kedua, dialihkannya proses peradilan ke PN Surabaya, padahal locus wilayah hukum peristiwa berada di Kabupaten Malang. Ketiga, diterimanya perwira aktif dari Bidkum Polda Jatim sebagai penasehat hukum tiga terdakwa polisi yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Keempat, puluhan saksi yang dihadirkan oleh JPU dan penasehat hukum terdakwa banyak berasal dari institusi kepolisian baik dari jajaran Polres Malang sampai jajaran Polda Jatim.

Kelima, sangat minimnya keterlibatan keluarga korban, korban, dan saksi mata sebagai saksi dalam persidangan. Diantara puluhan saksi yang diperiksa, hanya satu keluarga korban yaitu Devi Athok yang dihadirkan dalam persidangan.

Keenam, sikap maupun perilaku hakim cenderung pasif dalam menggali kebenaran materiil dari pernyataan saksi.

"Ketujuh, sikap perilaku JPU yang cenderung pasif dalam menggali dan menguji kebenaran materiil dalam pemeriksaan saksi di persidangan. Dan yang kedelapan, tindakan JPU yang tidak mendalami untuk menanyakan dan menggali secara detail mengenai kausalitas meninggalnya anak dari Devi Athok yang menjadi korban Tragedi Kanjuruhan," jelasnya.

Dirinya pun juga menyoroti adanya perbedaan yang jauh antara tuntutan terdakwa Panpel dan Security Officer Arema FC dengan tiga terdakwa polisi.

"Untuk terdakwa Abdul Haris dan Suko Sutrisno, JPU menuntut pidana enam tahun delapan bulan penjara. Sedangkan tiga terdakwa polisi, yaitu Wahyu Setyo Pranoto, Bambang Sidik Achmadi, dan Hasdarmawan dituntut tuga tahun penjara,"

"Adanya disparitas yang sangat jauh terhadap tuntutan tersebut, kami menilai bahwa tuntutan tersebut tidak berperspektif terhadap korban dan menunjukkan bahwa pelaku pelanggaran HAM tidak serius diadili. Selain itu, juga tidak mencerminkan aspek hak atas keadilan bagi korban dan keluarga korban," bebernya.

Dari berbagai kejanggalan tersebut, maka Koalisi Masyarakat Sipil mengeluarkan empat poin pernyataan sikap.

Yang pertama, mendesak majelis hakim untuk menjatuhkan vonis seberat-beratnya dan seadil-adilnya demi diwujudkannya keadilan bagi keluarga korban. Kedua, mendesak Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan untuk bersikap pro aktif memeriksa dugaan pelanggaran kode etik terhadap perilaku hakim dan jaksa persidangan Tragedi Kanjuruhan.

"Yang ketiga, mendesak Komnas HAM untuk lebih pro aktif mendalami keterlibatan pelaku level atas dalam pertanggungjawaban komando pelanggaran HAM berat dalam Tragedi Kanjuruhan. Dan keempat, mendesak Polri agar tidak berhenti melakukan pengusutan dan lebih serius menyidik anggota mereka yang terlibat langsung dalam Tragedi Kanjuruhan," pungkasnya.

Sumber: Surya Malang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved