Liputan Khusus Malang

Warna Kampung Tematik Telah Memudar, Tagih Janji Pemkot Malang!

kehadiran kampung tematik di Jalan Embong Brantas, Kota Malang ini telah memicu pertumbuhan ekonomi masyarakat.

|
Penulis: Benni Indo | Editor: Eko Darmoko
SURYAMALANG.COM/Purwanto
Kampung Biru Arema, Kota Malang, Jawa Timur, Kamis (11/7/2024). 

SURYAMALANG.COM, MALANG - Kampung Biru Arema sempat menjadi tujuan wisata di Kota Malang. Saat awal diresmikan pada 2018, kehadiran kampung tematik di Jalan Embong Brantas, Kota Malang ini telah memicu pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Kampung Biru Arema memiliki potensi wisata yang besar. Selain mural yang menarik, kampung ini juga memiliki suasana yang asri dan ramah. Pengunjung dapat menikmati berbagai kuliner dan berbelanja oleh-oleh di kampung ini.

Kampung Biru Arema memiliki ciri khas perumahan penduduk yang semuanya dicat warna dominan biru. Ada berbagai macam mural di tembok-tembok rumah. Logo-logo Arema berbagai generasi pun banyak menghiasi Kampung Biru Arema.

Kampung yang berada di Kelurahan Kiduldalem ini pernah menjadi tujuan wisata populer sebelum pandemi Covid-19. Biasanya pengunjung dari Kampung Warna-warni Jodipan (KWJ) langsung mampir ke Kampung Arema.

Sekarang kondisinya berubah. Setelah pandemi Covid-19 berakhir, kondisi Kampung Biru Arema tidak seramai dulu lagi. Tidak ada lagi tiket masuk seiring menurunnya kunjungan wisata ke Kampung Biru Arema.

Dahulu, pengunjung dikenakan tiket dan tarif Rp 3.000. Ketua RT 02, Aryanto mengungkapkan jumlah kunjungan menurun drastis pasca pandemi. Tempat-tempat foto juga mulai tidak terawat.

Setelah jumlah wisatawan berkurang, warga pun tidak memungut tarif kepada wisatawan yang hendak masuk. Kampung Biru Arema pun tidak memiliki daya tawar yang menarik bagi wisatawan.

"Tempat foto sudah tidak terawat, dan catnya memudar. Sepertinya kami tidak pantas kalau mengenai tarif kepada wisatawan," kata Aryanto kepada SURYAMALANG.COM.

Saat diresmikan oleh Wali Kota Malang saat itu, M Anton, revitalisasi Kampung Biru Arema menghabiskan cat sampai 15 ton. Dana yang digunakan untuk mengubah wajah kampung itu mencapai Rp 1,5 miliar. Ada sekitar 500 bangunan di RW 04 dan RW 05 yang dicat. Tapi sejak saat itu Kampung Biru Arema tidak pernah dicat kembali.

"Setelah pengecatan itu, sebenarnya banyak perubahan. Banyak wisatawan yang masuk. Tapi sekarang kondisinya tidak seperti dulu lagi. Sekarang spot foto banyak berkurang karena gambarnya banyak yang pudar. Itu yang jadi alasan wisatawan tidak mau ke sini. Mayoritas wisatawan hanya datang ke kampung sebelah (KWJ dan Kampung Tridi, red.)," paparnya.

Kampung Biru Arema sempat mendapat bantuan pengecatan, namun hanya pada bagian depan sebelum masuk Kampung Biru Arema. Aryanto berharap ada pengecatan ulang sehingga warna yang pudar kembali cerah.

Aryanto menagih janji Pemkot yang pernah diucapkan oleh M Anton. "Dulu Abah Anton yang punya ide pengecatan dan muralnya. Dulu Abah Anton berjanji akan mengecat ulang sampai dua kali. Tapi sekarang baru pengecatan satu kali. Kami menagih janji yang dulu disampaikan Abah Anton," ujar Aryanto.

Aryanto menilai dampak ekonomi dari perubahan wajah kampung itu tidak begitu terasa. Semua terasa sama saja. Awalnya pertumbuhan ekonomi di kawasan itu cukup tinggi, namun kondisi sosial masyarakat tidak berubah signifikan. "Semua berjalan seperti biasa. Ada penduduk yang berdagang, ada juga yang menjadi karyawan. Dulu kalau ada wisatawan, toko-toko kelontong ramai. Sekarang sudah berbeda," ujarnya.

Mengubah Perilaku

Kondisi serupa juga terjadi di Kampung Tridi. Banyak titik untuk berfoto di kampung tematik di Kelurahan Kesatrian ini yang tidak terawat. Cat yang mewarnai lokasi berfoto itu telah pudar, dan perlu peremajaan.

Ketua RW 12 Kelurahan Kesatrian, Adnan mengatakan masyarakat berharap ada pengecatan ulang di Kampung Tridi.

"Saya sudah sampaikan ke Pj Wali Kota Malang, Wahyu Hidayat saat bertemu di Kelurahan Purwantoro. Katanya, Insya Allah akan mengusahakan pengecatan ulang. Dinas pun sudah konfirmasi untuk pengecatan ulang kampung tematik," kata Adnan.

Kampung tematik butuh peremajaan warna untuk menarik daya kunjungan wisatawan, baik lokal maupun internasional. Menurutnya, pengelola Kampung Tridi masih memberlakukan tarif sebesar Rp 5.000 pada pengunjung meskipun sekarang kondisinya tidak seramai dulu. Tarif Rp 5.000 ini berlaku untuk turis lokal dan internasional.

Andan menyebutkan dampak ekonomi dari pengembangan wisata Kampung Tridi sudah tidak seperti dulu lagi.

"Kondisi ekonomi dulu dan sekarang sama. Ketika ada wisata, ada reaksi besar ekonomi karena banyak warga berjualan. Setelah kena pandemi, mati lagi, habislah semua. Sekarang pandemi berakhir, kami penataan baru," ujarnya.

Akhir-akhir ini banyak turis internasional yang datang. Tapi, warga yang berjualan tidak memahami keinginan kuliner turis internasional. Akibatnya, turis internasional tidak banyak membeli makanan di kawasan itu. "Mereka hanya membeli minuman," paparnya.

Karena mereka tidak bisa mengandalkan pendapatan dari kampung tematik, banyak warga yang memiliki usaha lain. Bahkan beberapa warga berjualan ke luar kampung.

Jika tidak memiliki usaha lain, kondisi warga akan semakin sulit. Apalagi sampai sekarang warga tidak memiliki akses permodalan atau bantuan wirausaha dari pemerintah.

"Perubahan ekonomi yang sempat terjadi dulu, kini sudah berbeda lagi. Kami kembali seperti dulu. Ini kan bukan lagi pekerjaan yang harus ditekuni terus menerus. Kalau tidak ada pekerjaan sampingan, tidak mungkin," terangnya.

Ketika Kampung Tridi masih ramai, satu penjaga tiket bisa mendapat Rp 500.000 per hari. Sekarang pendapatannya tidak sampai sebanyak itu. Rata-rata pengunjung Kampung Tridi sekitar 80 orang per hari. Jika musim liburan, jumlah pengunjung sekitar 100 orang.

Adnan menjelaskan dampak dari kehadiran tempat wisata adalah perubahan karakter masyarakat sekitar. Masyarakat Kampung Tridi mulai dapat menyesuaikan diri dengan orang-orang baru yang datang ke kampung tematik. Warga juga menyesuaikan diri karena kampungnya telah menjadi tempat wisata. Jangan sampai wisatawan memiliki kesan tidak baik karena perilaku warganya.

"Dengan adanya wisata, alhamdulillah warga juga berubah, baik dari karakter atau perilaku masyarakat," ungkap Adnan.

Masyarakat juga belajar dari turis, terutama turis internasional yang selalu memperhatikan kebersihan lingkungan. Warga pun tidak buang sampah sembarangan.

"Masyarakat juga antusias berkomunikasi dengan para turis, apalagi kalau turisnya bisa berbahasa Indonesia. Masyarakat ingin tahu seperti apa perbedaan antara kehidupan warga dengan tempat tinggal turis di luar negeri," kata Adnan.

 

Sumber: Surya Malang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved