Kampus Malang Raya

Akademisi UB Malang Sebut Revisi UU Polri Belum Mendesak, Perlu Dibahas Lebih Cermat

Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (Persada UB) dan Fakultas Hukum UB mengadakan FGD Revisi UU Polri dan Dampaknya

Penulis: Sylvianita Widyawati | Editor: Yuli A
sylvianita widyawati
Para pembicara di FGD "Revisi UU Polri dan Dampaknya Terhadap Hukum Acara Pidana" digelar di Hotel Grand Mercure Malang, Kamis (25/7/2024). Hadir di acara itu akademisi, praktisi dan NGO.  

SURYAMALANG.COM, MALANG - Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (Persada UB) dan Fakultas Hukum UB mengadakan FGD "Revisi UU Polri dan Dampaknya Terhadap Hukum Acara Pidana" digelar di Hotel Grand Mercure Malang, Kamis (25/7/2024). Hadir di acara itu akademisi, praktisi dan NGO. Sejumlah pembicara ditampilkan antara lain Fachrizal Afandi PhD, akademisi hukum UB, Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, staf ahli Wantimpres dan lainnya.


Solehudin SH MH, Koordinator Kompartemen Hukum Pidana FH UB menyatakan tujuan FGD ini adalah untuk menggalang kekuatan publik bagaimana bisa mengontrol revisi UU Polri. "Hasil dari FGD ini nanti akan disampaikan ke DPR RI dan disebarkan ke para pemangku kepentingan tentang sikap praktisi, NGO dan akademisi se Malang Raya. Kami mengeluarkan maklumat agar dilakukan penundaan revisi UU Polri," tandasnya. Menurutnya, pembahasan revisi UU Polri harus cermat dan transparan. 


Justru yang mendesak dilakukan oleh DPR RI adalah KUHAP. Sedang Fachrizal melihat pembahasan revisi UU Polri seperti dikebut sebelum presiden baru. "Saya agak traumatik seperti RUU KPK dulu. Dimana akhirnya pasal-pasalnya membut KPK tak efektif," kata dosen yang juga Ketua Persada UB ini di FGD. Suasana sekarang sangat mirip. Masuknya cepat-cepat. "Biasanya kalau cepat begitu maka naskah akademiknya agak ajaib dan morat marit," kata dia. 


Maka pembahasannya perlu dikawal. Alasan pihaknya fokus ke RUU Polri karena nanti juga akan berdampak pada pengajaran di kampus. Dimana ada beberapa matkul terkait dengan 11 SKS. Dikatakan, ujung tombak penegakan hukum itu di kepolisian. Selain itu atensi pembahasan ke RUU Polri karena dampaknya pada polisi juga masyarakat luas. Maka diperlukan KUHAP agar prosedurnya adil.


"Kepolisian itu perannya 99,9 persen karena tindak pidana. Sehingga jadi gate keeper. Sisanya di PPNS, dan penyidik khusus di BNN, KPK, Pidsus di kejaksaan dan lainnya," kata dia. Maka power kepolisian sangat besar. Karena itu KUHAP harus segera direvisi sebelum 2025. Kasus terbanyak ditangani polisi ada di reskrimm. Seperti pelanggaran hak asasi/penyiksaan, asas praduga tak bersalah tapi ditampilkan di konpres.


Contoh menyolok soal Pegi di kasus Vina Cirebon. Namun kemudian polisi kalah di pra peradilan dan Pegi bebas. Namun tampil di konpres sudah membuatnya seperti dihukum. Begitu juga kasus Kanjuruhan yang menelan 135 jiwa juga belum tuntas. Dengan kewenangan yang besar di polisi namun kewenangan kompolnas tak ditambah. Sedang pengawasan polisi lebih ke internal yang sulit diakses.


"Tunda dulu dong revisinya. Menurut saya, yang benar itu revisi KUHAP baru Polri. Kalau UU Polri yang jadi dulu maka KUHAP jadi mengikutinya. Padahal harusnya perangkatnya dulu," tandas dia. Penguatan kompolnas juga perlu diatur. 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved