SHGB Laut Sidoarjo

Potensi Pelanggaran HGB di Atas Laut Sidoarjo Mirip Pagar Laut Tangerang, Pakar Unair Ungkap Aturan

Seharusnya, HGB diberikan kepada masyarakat pada lahan yang berada di atas tanah, bukan di atas permukaan air.

KOLASE - SURYAMALANG.COM/Istimewa
Pakar Hukum Agraria dan Hukum Pertanahan Universitas Airlangga (Unair), Oemar Moechtar(foto kanan) dan peta wilayah pantai Timur Surabaya dan Sidoarjo dimana diterbitkan SHGB di laut. 

SURYAMALANG.COM, SURABAYA - Temuan adanya sertipikat Hak Guna Bangun (HGB) di kawasan laut yang tak jauh dari Surabaya dikawatirkan melanggar sejumlah regulasi.

Selain dari dampak hukum, hal ini berpotensi berdampak pada aspek lingkungan dan ekonomi.

Mengutip data Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Timur, lahan tersebut berada di Desa Segoro Tambak, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo.

Lahan mencapai 656,83 hektare itu terbagi menjadi tiga sertipikat (dua sertipikat atas nama PT Surya Inti Permata dan satu sertipikat atas nama PT Semeru Cemerlang).

Pakar Hukum Agraria dan Hukum Pertanahan Universitas Airlangga (Unair), Oemar Moechtar menilai temuan ini merupakan rentetan dari berbagai peristiwa sebelumnya.

Selain temuan pagar laut di Kabupaten Tangerang Banten, juga terkait izin HGB kepada Suku Bajo di Sulawesi Tenggara yang tinggal di atas air atau di laut.

Kebijakan HGB kepada Suku Bajo selama 30 tahun dilakukan era Presiden Joko Widodo sejak 2022 silam.

"Sebenarnya, kebijakan pemerintah ini melenceng dari konsep pemberian Hak Guna Bangun," kata Moechtar di Surabaya, Selasa (21/1/2025).

Seharusnya, HGB diberikan kepada masyarakat pada lahan yang berada di atas tanah, bukan di atas permukaan air.

"Kalau di atas air, seharusnya bukan menjadi kewenangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)," katanya.

Seharusnya, izin pemanfaatan lahan di atas permukaan laut dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kementerian ini yang bertanggungjawab dalam penerbitan izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).

"Kalau ada pemanfaatan ruang laut lebih dari 30 hari, ada izin pemanfaatan dari Kementerian Kelautan. Tapi, ini tidak berbentuk sertipikat Hak Guna Bangunan," katanya.

Pun apabila lahan tersebut merupakan lautan, pengembang seharusnya mengurus izin Reklamasi terlebih dahulu.

Baru setelah tanah ada, pengembang selanjutnya mengurus sertipikat HGB.

Selain itu, apabila sertipikat tersebut terbit saat lahan masih berupa daratan, maka pemerintah selaiknya segera melakukan mekanisme hapus tanah. Yakni, pembatalan hak atas tanah yang dilakukan oleh pemerintah.

Mengingat, tanah tersebut telah menjadi lautan.

"Kalau misalnya [tanah] tenggelam dari yang awalnya ada menjadi tidak ada, maka ini bisa menunjukkan tanah musnah. Karena tanahnya tidak ada, maka hak atas tanahnya harus segera dihapus. Ini harus mengikuti," katanya.

Usulan penghapusan tanah tersebut bisa diusulkan oleh pemilik lahan/sertipikat HGB.

"Ini kewajiban karena sistem pendaftaran tanah kita, baik dijual, diwariskan, dihibahkan, maupun dihapus pun merupakan kewajiban dari pemegang hak untuk melaporkan ke badan pertanahan," tandasnya.

Selain melanggar regulasi, penerbitan HGB pada lahan di lautan juga berpotensi memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan ekonomi. Di antaranya, para nelayan.

"Nelayan harus muter untuk mencari jalur dalam mengambil ikan di laut. Ini ada kerugian ekonomi di situ," katanya.

Selain ekonomi, ada pula dampak lingkungan. "Kenapa reklamasi pada lautan harus mendapatkan izin karena ini akan berdampak pada lingkungan. Arahnya ke ekologi dan lingkungan," katanya.

Pihaknya berharap kepada pemerintah untuk konsisten dalam menjalankan aturan.

"Seharusnya, Pemerintah dalam membuat produk hukum mengacu pada aturan yang berlaku terlebih dahulu," katanya.

"Semua aturan yang dibuat oleh pejabat pemerintah harus mematuhi aturan yang berlaku. Apabila tanpa legal standing yang jelas,  justru menimbulkan masalah di kemudian hari," katanya.

Sebelumnya, masalah tersebut terungkap setelah masyarakat menemukan lahan di perairan Surabaya terungkap telah memiliki status Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

Mencapai 656 hektare, alas lahan di atas laut tersebut melalui laman resmi Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), bhumi.atrbpn.go.id.

Temuan ini diunggah Dosen pengajar di Universitas Airlangga (Unair), Thanthowy Syamsuddin melalui akun X miliknya, @thanthowy, Minggu (19/1/2025).

Oleh Thanthowy, hal ini kemudian dikaitkan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN), Surabaya Waterfront Land (SWL). Saat ini, proyek tersebut tengah menjadi perbincangan di kalangan warga Surabaya.

"Cik, aku juga nemu sesuatu di PSN Waterfront Surabaya. Ada area HGB ± 656 ha di timur Eco Wisata Mangrove Gunung Anyar," tulis Thanthowy melalui akun tersebut. (bob)

 

Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved