Sistem Tumpang Makam Satu Keluarga di Surabaya, Wali Kota Eri Perkenalkan Teknisnya 

Sistem pemakaman tumpang ini dibakukan mengingat luas area pemakaman di Surabaya semakin menipis saat ini.

surya.co.id
Foto ilustrasi - Makam Keputih di Surabaya. 

SURYAMALANG.COM, SURABAYA - Surabaya memberlakukan Sistem pemakaman tumpang bagi satu keluarga.

Sistem pemakaman tumpang ini dibakukan mengingat luas area pemakaman di Surabaya semakin menipis saat ini.

Pemkot Surabayapun memperkenalkan sistem pemakaman tumpang hingga rencana Tempat Pemakaman Umum (TPU) baru.

Sistem pemakaman tumpang dikhususkan untuk makam satu keluarga.

Sistem ini di antaranya mulai diterapkan pada TPU Keputih

"Kita sudah tidak bisa menyediakan lahan makam [baru] untuk warga Surabaya. [Mau menggunakan] tanahnya siapa?," kata Cak Eri ketika dikonfirmasi di Surabaya.

"Di (TPU) Keputih pun dibuat panggung (ditumpang). Kalau ada saudara-saudaranya [jenazah] yang meninggal ya sudah ditumpang [sebab] tanahe wis nggak onok (sudah tidak ada lahannya). Tanah yang [ada milik Pemkot] kita manfaatkan untuk pergerakan ekonomi dan lain-lainnya,” kata pria asli Surabaya ini.

Hingga saat ini, Pemkot Surabaya telah mengelola 13 makam dan 1 krematorium (tempat pembakaran jenazah).

Di samping itu, terdapat 335 malam kampung yang tersebar di sejumlah kawasan di Surabaya.

Wali Kota Eri mendorong masyarakat untuk mengoptimalkan makam yang ada di perkampungan masing-masing.

Mengantisipasi area yang terlampau jauh, keluarga cukup memakamkan jenazah di area perkampungan sekitar.

"Selagi makam itu aktif, [sisa lahan] bisa dihitung RW itu masih ada berapa jiwa. (Ketua RW] melihat, masih bisa apa tidak makam ini menampung total jiwa di kampung tersebut," katanya.

"Nah, kalau bisa, otomatis harus dimakamkan di makam situ dan tidak boleh di TPU Keputih. Sebab, makam di Keputih itu khusus untuk kampung yang tidak menyediakan makam,” tuturnya.

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Surabaya mengungkapkan, sistem pemakaman tumpang dilakukan untuk mengatasi keterbatasan lahan.

"Namun, sistem ini dilakukan untuk kriteria tertentu," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Surabaya Dedik Irianto ketika dikonfirmasi terpisah.

Pertama, sistem tumpang hanya digunakan untuk makam yang telah berusia minimal 3 tahun.

Kedua, masing-masing jenazah masih memiliki hubungan keluarga serta dengan tetap melalui persetujuan keluarga jenazah yang ditumpangi.

"Sistem ini juga secara tidak langsung akan memudahkan ziarah bagi ahli waris. Apalagi, hal ini juga bisa diterapkan untuk seluruh makam di Surabaya," kata Dedik.

Selain ketersediaan lahan, Dedik mengungkap tantangan permakaman di area kampung. Di antaranya, soal retribusi permakaman kepada RW.

"Biasanya pihak kampung akan menarik retribusi untuk pemakaman dan kas apabila dimakamkan di makam kampung," kata Dedik.

Untuk mendorong warga tetap memakamkan jenazah di kampung, DLH berencana menyiapkan subsidi yang besarannya sekitar Rp500 ribu tiap makam.

"Berdasarkan hitungan kami, angka ini mampu untuk [subdisi pemakaman) 10 ribu makam di tiap tahun," kata Dedik. (bob)

 

Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved