Kota Malang

Kisah Pedagang Beras di Pasar Besar Malang yang Bertahan di Tengah Kebijakan Harga Eceran Tertinggi

Kisah Pedagang Beras di Pasar Besar Malang yang Bertahan di Tengah Kebijakan Harga Eceran Tertinggi

Penulis: Benni Indo | Editor: Eko Darmoko
SURYAMALANG.COM/Sofyan Arif Candra
Ilustrasi beras 

SURYAMALANG.COM, MALANG - Di sudut dekat bangunan Pasar Besar Kota Malang, tepat di antara deretan kios sembako yang dulu selalu riuh, toko beras milik Wibowo Utomo (55) kini terasa lengang.

Parkiran mobil di depan tokonya yang biasanya penuh, kini nyaris kosong. Sudah sebulan terakhir, pembeli datang hanya sesekali, sekadar membeli secukupnya, bukan lagi dalam jumlah besar seperti dulu.

“Kalau dulu, sekali datang orang bisa ambil 500 kilo sampai satu ton."

"Sekarang paling hanya beberapa sak untuk kebutuhan harian,” tutur Wibowo kepada SURYAMALANG.COM sambil menatap tumpukan karung beras premium yang masih utuh di rak, Rabu (13/8/2025).

Wibowo sudah berdagang di tempat ini sejak era 1970-an, meneruskan usaha keluarganya. Ia paham betul ritme pasar.

Tapi kali ini, sepinya pembeli bukan karena isu beras oplosan yang sempat merebak, melainkan menurutnya akibat kebijakan pemerintah terkait Harga Eceran Tertinggi (HET).

Baca juga: Wanita Korban Pelecehan di Persada Hospital Dilaporkan Balik, Kini Diperiksa Polresta Malang Kota

Menurutnya, HET untuk beras medium yang ditetapkan sebesar Rp 14.900 per kilogram membuat para penggilingan menengah tak mampu bersaing.

Harga gabah di lapangan sudah menembus lebih dari Rp 7.000 per kilogram, jauh di atas harga acuan yakni Rp 6.000 yang dipatok pemerintah.

“Kalau beli gabah Rp 7.000, diolah jadi beras, ongkos transport, dan tenaga kerja dihitung, tidak nutut dijual Rp 12.500 per Kilogramnya. Makanya mereka lebih memilih jual gabah ketimbang memproduksi beras,” jelasnya.

Akibatnya, suplai beras medium berkurang drastis di pasaran. Wibowo kini hanya menjual merek-merek premium, beras yang harganya sudah pasti di atas HET.

Tidak ada lagi beras medium yang tersisa di tokonya yang berukuran sekitar 10x5 meter persegi.

Konsumen, khususnya warung-warung kecil yang dulu menjadi langganan setianya, kebingungan mencari beras yang lebih terjangkau. Wibowo mengatakan, pelanggannya memilih untuk menunggu beras dari Bulog ketimbang beli beras pada umumnya.

“Mereka akhirnya menunggu beras Bulog, meskipun jatahnya terbatas,” ujarnya.

Baca juga: Begini Kondisi Penggilingan Padi di Kecamatan Junrejo Kota Batu saat Ramai Fenomena Beras Oplosan

Menurut Wibowo, isu beras oplosan yang sempat mencuat tak terlalu relevan. Ia menjelaskan, perbedaan kualitas biasanya disebabkan oleh kadar butir patah (broken) yang bervariasi, bukan campuran bahan lain.

“Beras premium itu utuhnya lebih banyak, kalau medium butir patahnya lebih banyak. Itu saja. Kalau pabrik besar saya kira tidak berani juga ngurangi takaran atau oplos aneh-aneh, risikonya besar,” katanya.

Halaman
12
Sumber: Surya Malang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved