"Ini masih kita tunggu dan update perkembangannya seperti apa," tandasnya.
Lebih lanjut lagi, Muhammad Mudhofar menegaskan, telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah kejadian pernikahan siri terutama di lingkungan pondok pesantren.
"Sebetulnya kasus-kasus seperti ini bukan hal yang baru. Terkadang ada hal-hal yang tak terduga."
"Kita sudah sering edukasi dan sosialisasi."
"Penguatan bagaimana menjaga perilaku santri dan pengasuh, murid dan guru tentunya sudah ada aturan terkait etika di lembaga formal masing-masing," ujar Mudhofar.
Mudhofar menambahkan, secara umum Kementrian Agama berpesan kepada peserta didik dan tenaga pengajar di lingkungan pendidikan agama agar meningkatkan pengawasan untuk mencegah perilaku menyimpang.
"Kami memberikan respon untuk mewaspadai bagi anak-anak kita para santri, madrasah juga saling mengawasi dan memantau para anak didiknya," jelasnya.
Sementara itu, Mudhofar menuturkan pernikahan yang sah adalah harus tercatat dan diakui negara melalui Kementerian Agama.
"Kalau pernikahan sebagaimana Kementrian Agama hanya ada formal yakni tercatat di KUA, atau catatan sipil untuk yang selain agama Islam," sebutnya.
Menurut Mudhofar, fenomena pernikahan siri kerap terjadi di masyarakat karena faktor klaim kebenaran.
"Di lingkungan masyarakat ada kepercayaan dan diyakini kebenaran terkait pernikahan siri."
"Secara syariat agama ya harus memenuhi rukun dan syaratnya."
"Salah satunya diketahui orang tua wali apalagi masih anak harus dapat izin dari orang tua dan seterusnya," jelas Mudhofar.
Seperti diketahui, Polres Lumajang menetapkan seorang pengasuh ponpes bernama Muhammad Erik (ME) sebagai tersangka usai menikahi gadis berusia 16 tahun secara siri tanpa wali.
Pria yang sudah memiliki istri tersebut mengiming-imingi korban dengan uang Rp 300.000.