Kisah Marsinah Aktivis Buruh yang Perjuangkan Hak Pekerja Saat Orde Baru, Kini Dapat Gelar Pahlawan

Kisah Marsinah seorang aktivis buruh yang perjuangan hak pekerja saat orde baru kini mendapatkan gelar pahlawan. Hidupnya berakhir tragis.

Penulis: Frida Anjani | Editor: Frida Anjani
TRIBUNNEWS/IRMAN RISMAWAN
PAHLAWAN NASIONAL - Sosok Marsinh aktivis buruh yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo hari ini Senin 10 November 2025. 

Mayatnya ditemukan di hutan yang berada di Wilangan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.

Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD dr. Soetomo), menyimpulkan Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.

Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama.

Kasus ini menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO), dikenal sebagai kasus 1773.

Baca juga: Kritik Rencana Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Hasto Kristiyanto : Layakkah Rekam Jejaknya?

Kehidupan Pribadi

Marsinah merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Sumini dan Mastin. 

Marsinah dibesarkan di bawah asuhan neneknya, Puirah, dan bibinya, Sini, di Nglundo, Jawa Timur. 

Ia bersekolah di Sekolah Dasar Negeri Karangasem 189, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Nganjuk.

Tahun-tahun terakhir sekolahnya dihabiskan di Pondok Pesantren Muhammadiyah, namun pendidikannya terhenti karena kekurangan biaya.

Ia diterima bekerja di pabrik sepatu Bata di Surabaya pada tahun 1989, kemudian pindah setahun setelahnya ke pabrik jam tangan Catur Putra Surya (sebelumnya bernama Empat Putra Surya) di Sidoarjo. 

Setelah dilakukan pemindahan ke pabrik mereka di Porong, Marsinah akhirnya dikenal sebagai juru bicara bagi rekan-rekan sesama pekerjanya.

Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur Soelarso mengeluarkan Surat Edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi imbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20 persen gaji pokok.

Imbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, Namun, di sisi pengusaha berarti tambahnya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, PT Catur Putra Surya (PT CPS) Porong membahas surat edaran tersebut dengan resah. 

Akhirnya, karyawan PT CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp1.700 menjadi Rp2.250.

Lakukan Unjuk Rasa

Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggulangin, Sidoarjo.

Pada 3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh.

Sumber: Surya Malang
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved